GIANYAR – Sosialisasi perarem atau tatib pemilihan Bendesa Desa Adat Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, mendapatkan penolakan warga di enam banjar karena dinilai tidak sesuai perda desa adat. Perarem telah teregistrasi di Majelis Desa Adat (MDA) Bali tanpa melalui sosialisasi terlebih dahulu.
Sebagai bentuk penolakan, krama Banjar Lodpeken memasang baliho besar. Bahkan, mereka juga membubarkan diri saat ketua pembentuk perarem hendak menggelar paruman, Sabtu (21/11/2020) malam. “Tidak ada yang perlu dibahas karena sudah tidak sesuai prosedur,” cetus seorang warga.
Situasi sempat memanas dipicu adu argumen. Bahkan, Kelian Adat Banjar Lodpeken yang menjadi anggota pembentuk perarem menyatakan ingin mengundurkan diri sebagai prajuru. “Kalau seperti ini, saya lebih baik mundur saja karena saya hanya menjalankan tugas sebagai pengayah, tidak ada maksud lain di luar mengabdi pada masyarakat” ucapnya. Pernyataannya itu justru disoraki krama sembari memintanya agar segera mundur.
Sementara, baliho yang terpasang depan balai banjar berisi beberapa poin. Pertama, masyarakat/krama Desa Adat Keramas menolak perarem nomer 5 tahun 2020 yang diputuskan sepihak tanpa melibatkan paruman desa adat.
Kedua, mempertanyakan paruman adat yang dimaksud tanggal 24 Oktober 2020 apakah sudah sesuai dengan awig-awig desa keramas ?. Mempertanyakan beberapa tahapan yang tidak sesuai dengan petunjuk teknis/surat edaran nomer. 006/SE/MDA-PROV BALI/VII/2020 tentang proses ngadegan bendesa lan prajuru.
Ketiga, menyatakan keberatan atas perarem ini dan siap menempuh jalur-jalur dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga PTUN. Bergerak untuk asas keadilan transparansi dan keterbukaan demi dan kemajuan masyarakat desa Keramas.
Warga juga mengkritik isi pasal yang memperbolehkan ada calon bendesa dari luar banjar. “Itu bisa menimbulkan kekacauan dan keributan ,” ujar I Wayan Ardita, warga Banjar Gelgel.
Terkait adanya polemik itu, Ketua Majelis Desa Adat, Anak Agung Alit Asmara yang dikonfirmasi, Minggu (22/11/2020) berharap adanya komunikasi antara prajuru dengan krama yang menganggap perarem tersebut bermasalah karena konsep pararem disepakati krama. Terlebih lagi ketika menyangkut pemilihan atau mengatur calon yang bersumber dari krama.
Menurutnya, prajuru wajib memfasilitasi karena desa adat mempunyai kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri agar tidak meluas. Jika nanti persoalannya tidak bisa diselesaikan di tingkat internal, baru majelis memiliki kewenangan turun memfasilitasi. “Hak dan kewajiban harus sama antara semua krama. Kalau ada hal yg belum disepakati dalam proses pembuatan perarem, dalam proses sosialisasi, dan tahapan yang harus diketahui krama harus dilalui semua untuk kebaikan bersama. Tapi intinya, kami berharap permasalahan ini diselesaikan oleh prajuru dan krama. Prajuru wajib memfasilitasi,” tandasnya. (jay)