DENPASAR -Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar secara khusus menghadirkan Gambyuh Agung, sebuah ciptaan barungan baru yang bertitik mula dari pemuliaan Gambuh untuk acara Peed Aya (Pawai) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44, Minggu (12/6/2022) ini. Menghadirkan 88 buah instrumen gamelan dengan melibatkan 99 penabuh dan penari rarejangan.
Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana, menyatakan, bahwa barungan ini meramu padu ragam melodis asta swara bisah; dari seruling gambuh, bonang, genggong, kendang krumpung, bumbung gebyog, krepyak, mandolin, dan okokan. “Adapun asta swara bisah adalah delapan gema suara kekal, inti bunyi semesta; bisah menunjuk sandang aksara (Bali): alun pelafalan ‘h’. Setaut pemuliaan gambuh sebagai drama musikal klasik yang bergema ke seantero dunia, maka ansamble ciptaan baru ini mengedepankan instrumen bermatra mengalun melodis dengan seruling gambuh sebagai guru swara.
“Secara konseptual komposisi yang dicipta ini mengharmoni tekstur bunyi alami ketaksaan seruling pagambuhan, mengelaborasi alunan ritmis bonang, kendang, okokan, krepyak, gebyog, mandolin, dan genggong. Sejalan pemaknaan Danu Kerthi Huluning Amreta (memuliakan air sebagai sumber kehidupan), garapan Gambyuh Agung tahun ini mengambil tajuk ‘Langlang Tembang Danu’, yang menerjemahkan tradisi ritus melis sebagai prosesi penyucian alam semesta (Bhuwana Alit-Bhuwana Agung)”, terang mantan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali itu.
Dipilih sebagai komposer Nyoman Windha dan Nyoman Sudiana S.SKar, M.Si., serta Koordinator Produksi Dr. Ketut Garwa. Wakil Rektor bidang Perencanaan dan Kerjasama ISI Denpasar, Prof. Dr. Komang Sudirga, yang juga Pengarah Produksi, menjelaskan, barungan baru Gambyuh Agung ini merupakan representasi sumringah seruling gambuh yang dipadu harmoni semarak bunyi-bunyian alam lingkungan.
“Bentuk ansambel baru ini dijadikan sebagai media ungkap, terinspirasi tradisi melis, yang merupakan bagian aktivitas penting dalam upacara yadnya. Melis dengan sarana sampyan ‘Lis’ ketika menaburkan air, menjadi inspirasi estetik garapan ini. Berpijak dari ide tersebut, komposer menata potensi musikal mandolin, dikombinasi dengan warna-warni bunyi alam persawahan (bunyi-bunyi ekologis). Secara konseptual dan kompositoris, media ungkap ini dieksplorasi menghasilkan tekstur bunyi yang khas mendayu, mengangkat kekuatan melodi mandolin, berikut diperkuat alunan merdu seruling pagambuhan. Jenis bunyi mengalun tersebut dielaborasi degupan ritmis instrumen perkusi: bonang, kendang, okokan, kepuakan, bumbung gebyog, dan genggong (enggung), “ terang Guru Besar Karawitan itu.
Nyoman Windha mengungkapkan, barungan Gambyuh Agung secara artistik mengonstruksi nuansa alunan musik tradisi berlaras pelog dan selendro secara mengalir, dengan memberi aksentuasi bunyi-bunyian yang mengalir-mendayu, sebagaimana spirit kesucian dan kebeningan air danau.
“Secara musikal, irama musik prosesi inovatif ini, menerjemahkan sifat -sifat air yang lembut, lentur, teguh, kukuh, yang membuncah menembus batu karang. Karakter bunyi halus dan lembut dipadu degupan bumbung gebyog beraksen kuat.
Penampilan musik prosesi kolosal Gambyuh Agung ini, sangat berbeda dengan musik prosesi yang selama ini dikenal dan ditampilkan pada setiap pawai, seperti adi mardangga, ketug gumi, atau jenis gamelan balaganjur lainnya. Semua jenis gamelan tersebut, seragam bernuansa hingar bingar, keras, dan gemuruh.
“Gambyuh Agung, sebagai antitesa yang justru bertumpu pada jenis instrumen melodi yang lembut, mendayu, dan menggema lirih. Inilah barungan gamelan yang merepresentasikan secara simbolik kekuatan air atau danau. Tajuk ‘Langlang Tembang Danu’ mengibarkan keluhuran dan kemuliaan danau sebagai sumber mata air dan penyembuhan peradaban manusia, “ tambah Ketut Garwa, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar. “
“Gambyuh Agung sebagai wahana mengalirkan gagasan tanpa henti, mengalirkan air tanpa batas. Melanglang juga bermakna berkelana menyebar air suci, seperti kemuliaan Ratu Ayu Mas Mbah membagi air Danau Batur ke seluruh Bali,” tambah Prof Sudirga.(jon)