BULELENG – Singaraja Literary Festival sebagai sebuah inisiasi literasi dan sastra, berupaya mendokumentasikan secara serius potensi sastra di Singaraja pada masa lalu, kini, dan nanti.
Inisiasi ini hadir untuk menghidupkan intelektualisme di Kota Singaraja yang berakar dari Gedong Kirtya, pusat pengarsipan tertua di Nusa Tenggara.
Festival ini hadir sebagai platform dalam memproduksi pengetahuan melalui penyebaran khazanah yang tersimpan pada manuskrip-manuskrip yang sangat berharga, terutama yang tersimpan di perpustakaan Gedong Kirtya.
Inisiasi ini ingin menghidupkan kembali khazanah pengetahuan dan kearifan sejarah dengan memadukan riset dengan metode studi pustaka, mindfulness dan narrative inquiry.
Tahun 2024 merupakan tahun kedua pelaksanaan Singaraja Literary Festival. Bertempat di lokasi yang sama, Museum Buleleng, Sasana Budaya, Gedong Kirtya, dan Puri Kanginan, Singaraja Literary Festival tetap menjaga agar festival tetap memberikan relevansi terhadap situs tersebut sebagai produk pengetahuan sejarah.
”Pada tahun kedua, Singaraja Literary Festival mengambil tema Dharma Pamaculan dengan tafsir Bahasa Indonesia ‘Energi Ibu Bumi’.
Tema ini diambil berdasarkan judul dari sebuah lontar terkait peradaban pertanian Bali yang direstorasi di Gedong Kirtya,” ujar Kadek Sonia Piscayanti, Direktur dan Singaraja Literary Festival, saat jumpa pers di Kedai Kopi DeKakiang, Singaraja, Minggu (18/8/2024).
Dharma Pamaculan sekaligus menjadi tema besar dari panel diskusi dan lokakarya yang akan dilaksanakan pada hari perhelatan festival, 23 sampai 25 Agustus 2024. Tema tersebut tidak terbatas hanya dengan isu pertanian, namun juga perluasannya pada isu ekologi secara umum.
Nantinya, penerjemahan dari lontar Dharma Pamaculan akan menjadi dasar dari pementasan teater, film, dan penampilan seni lainnya di Singaraja Literary Festival.
Festival ini dalam transformasinya, dapat dilihat sebagai proses pembentukan pengetahuan secara kolektif yang juga partisipatif. Festival juga melaksanakan lomba pembacaan puisi yang akan melibatkan seluruh siswa dan mahasiswa se-Provinsi Bali.
Tahun ini, Singaraja Literary Festival mencoba beberapa eksperimentasi pada desain program sekaligus melibatkan jejaring baru.
Dengan dukungan LPDP melalui Dana Indonesiana Kategori Pendanaan Ruang Publik, Singaraja Literary Festival 2024 menghadirkan 50-an pembicara yang akan terlibat di 20-an panel diskusi, 9 workshop, 13 pertunjukan seni; baik tari, teater, musik, 4 kolaborasi nasional dan internasional, serta ratusan seniman dan budayawan nasional dan internasional.
Di antaranya adalah Dee Lestari, Henry Manampiring, Sugi Lanus, Aan Mansyur, Willy Fahmi, Oka Rusmini, Pranita Dewi, Sally Breen, Sudeep Sen, Mags Webster, Phillip Cornwell Smith, Nerisa del Carmen Guevara, dan banyak lainnya.
Pelaksanaan festival tahun kedua ini juga menjadi salah satu yang spesial dengan kolaborasi bersama Asia Pasific Writers and Translators yang memberikan workshop penulisan kreatif. Tak hanya penulisan kreatif, di festival ini juga terdapat kerjasama penulisan akademik dengan Jurnal Kajian Bali yang produknya adalah artikel terindeks Scopus.
Ada pula satu program menarik lainnya dari Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yakni “Khazanah Rempah dalam Lontar”.
Sebagai bagian dari festival, program ini juga berupaya mendokumentasikan pengetahuan terkait rempah di Nusantara baik di masa lalu hingga transformasinya di masa kontemporer. Singaraja Literary Festival turut mengundang sekitar 35 penulis untuk turut terlibat dalam proses produksi pengetahuan tentang khazanah rempah.
“Sederhananya begini. Kita selalu menganggap bahwa lontar itu selalu tenget, magis, dan seolah tidak bisa diotak-atik. SLF mencoba menawarkan pendekatan baru dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang terkandung dalam lontar dengan pendekatan masa kini.
Misalnya mengalihwahanakan pengetahun dalam lontar ke film, seni pertunjukan, dll,” kata Made Adnyana Ole, Founder Singaraja Literary Festival.
Menurut Kadek Sonia Piscayanti, festival ini adalah sebuah perayaan kegemilangan intelektualisme para pemikir di masa lalu dan menerjemahkan kembali dalam berbagai alih wahana seni, yang menginspirasi generasi lintas negeri.
Sonia menambahkan bahwa tahun ini banyak diiniasi kolaborasi yang kreatif dan inspiratif seperti kerjasama dengan APWT (Asia Pasific Writers and Translators), Inclusive Journalism, Modern Women magazine, dan komunitas-komunitas penggiat seni di Indonesia.(*/kar)