DENPASAR – Krialoka (workshop) Ngreka Baligrafi serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021 berlangsung di Lantai 1 Gedung Ksirarnawa, Art Center, Provinsi Bali, Rabu 10 Februari 2021. Kegiatan sastra diikuti 25 peserta dari kalangan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Bali, serta penyuluh Bahasa Bali dari berbagai daerah.
Krialoka menghadirkan dua narawakya (pembicara), I Kadek Suardita, S.Pd. H.–Praktisi Baligrafi dan Made Reland Udayana Tangkas, S.S., M.Hum.,–Dosen STAHN Mpu Kuturan, dengan penganter (moderator) Made Susila Putra, S.Pd., M.Pd.–Dosen STAHN Mpu Kuturan.
I Kadek Suardita memberikan pengetahuan dasar dalam karya seni Baligrafi, yaitu pengetahuan dasar aksara, baik dalam penyesuain, penempatan detail, seperti gantungan, gempelan dan lainnya. Baligrafi bagian dari seni rupa menggunakan dasar-dasar seni yang digunakan untuk mewujudkan sebuah karya seni rupa (Baligrafi), diantaranya titik, garis, bidang, bentuk, ruang, warna, tekstur, gelap terang dan lainnya. “Kami memberikan dasar-dasar yang simple karena Baligrafi ini juga bagian dari unsur-unsrus seni rupa,” katanya.
Menurutnya, untuk bisa ngreka Baligrafi, para peserta harus memahami terlebih dahulu unsur seni rupa, lalu memahami unsur aksara. Setelah itu baru itu memadukan aksara dengan unsur seni rupa itu untuk menjadi sebuah karya Baligrafi. “Baligrafi itu seni menulis dengan menggunakan aksara Bali. Singkatnya membuat kaligrafi dengan menggunakan aksara Bali. Ini mesti difameliarkan, karena belum terlalu banyak yang mempu melakukannya. Maka itu, perlu dikembangkan, yang mulai start dari kegiatan Bulan Bahasa Bali ini dalam workshop ini,” ungkapnya.
Menurutnya, belajar Ngreka Baligrafi ini sangat penting, karena sebuah budaya Bali yang tidak dimiliki oleh daerah lain bahkan negara lain. Ini merupakan akar budaya yang kuat, sehingga perlu dipelajari. “Saat ini pariwisata masih down, maka ini menjadi kesempatan supaya belajar lagi tentang budaya-budaya yang belum tergali. Apalagi pemerintah Bali sudah menerapkan aksara Bali pada nama-nama intansi, maka itu sebagai sebuah cara untuk belajar aksara Bali dan Baligrafi,” ucapnya.
Sementara, Made Reland Udayana Tangkas dalam makalahnya yang berjudul Baligrafi; Petemuan, Aksara, Sastra dan Rupa mengawali pembicraannya dengan menjelaskan awal mula Baligrafi yang diperkenalkan berawal dari sebuah Festival Baligrafi Internasional ada 2013 di Museum Gunarsa. Baligrafi penting dilakukan, karena merupakan budaya Bali yang adiluhung. Apalagi di jaman globalisasi ini Ngreka Baligrafi sebagai ajang untuk melestarikan Budaya Bali.
Sedangkan Penjabat Pelaksana Teknis Bulan Bahasa Bali 2021, Made Mahesa Yuma Putra SS MSi usai membuka kegiatan mengatakan, Ngreka Baligrafi yang merupakan kegiatan workshop pertama disamput antusias genarasi muda. Sesungguhnya, peserta yang berminat cukup banyak, tapi karena suasana pendemi Covid-19, peserta dibatasai hanya 25 orang. “Penerapan protocol kesehatan menjadi bagian dari krialoka, seperti memakai masker, mencuci tangan, cek suhu dan menjaga jarak,” ujarnya.
Krialoka Ngreka Baligrafi bertujuan untuk melestarikan aksara, bahasa dan sastra dalam bentuk penulisan naskah dalam lontar. Baligrafi ini sebagai suatu rangkain huruf atau sastra yang memiliki suatu makna. “Penulis Baligrafi ini memang sangat langka, makanya kita panitia pelaksana kegiatan dalam rangka Bulan Bahasa Bali 2021 ini melaksanakan workshop. Intinya untuk mengakjak masyarakat agar tertarik untuk membuat suatu rangkaian aksara yang bermakna itu,” terangnya.
Walau hanya digelar dalam sehari, krialoka diharapkan dapat memberikan penyegaran dalam pelaksanaan Bulan Bahasa Bali yang berlangsung selama sebulan ini. Maka itu, dalam workshop ini taki hanya dilakukan secara teorisaja, tetapi juga dibarengi dengan pratek bagaimana cara Ngreka Baligrafi. “Oarang yang bisa Ngreka Baligrafi ini sangat langka karena jarang peminatnya, maka itu dibuatkan suatu workshop. Ini sangat perlu dilestraikan, karena antara nyurat lontar dan ngreka Baligrafi itu berbeda,” paparnya.
Dalam Baligrafi itu, ada gambar yang dirangkai dari aksara yang bermakna. Medianya sama daun lontar dan menggunakan alat pengrukapak. “Kalau istilah modernnya komik. Jadi leluhur kita sudah biasa membuat komi yang inspirasinya dari cerita rakyat dan pewayangan yang menjadi pemacu budi pekerti,” tutupnya. (sur)