BULELENG- Komunitas Suara Saking Bali menggelar Festival Sastra Bali Modern (FSBM) di STAHN Mpu Kuturan Buleleng. Acara ini berlangsung pada Sabtu – Minggu, 7 – 8 September 2024 dan ditutup pada Minggu malam. Pelaksanaan festival ini merupakan yang kedua setelah sebelumnya sempat digelar tahun 2022 lalu secara daring.
Berbagai kegiatan memeriahkan acara ini mulai dari pameran, diskusi, hingga parade musikalisasi puisi. Yang paling menarik, dibahas pula korelasi sastra Bali modern dengan perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Pada hari pertama FSBM, digelar pameran dengan menampilkan 94 sampul majalah Suara Saking Bali. Tak hanya sampul, cetakan majalah bulanan yang terbit secara online dari edisi pertama hingga 94 juga turut dipamerkan.
Pameran ini mendapat apresiasi dari peserta yang hadir yang didominasi kaum muda dan mahasiswa. Selanjutnya digelar diskusi arsip dan ekosistem sastra Bali modern dengan pembicara I Wayan Juliana seorang dosen di STAHN Mpu Kuturan dan I Putu Supartika, seorang penulis.
Kemudian dilanjutkan dengan parade musikalisasi puisi dari Komunitas Cemara Angin Undiksha, Dinamika dari Komunitas Mahima dan Komunitas 9 Pohon SMAN Bali Mandara.
Usai parade, juga dilanjutkan dengan diskusi proses kreatif. Selanjutnya pada hari kedua juga digelar pameran serta bedah buku kumpulan cerpen berbahasa Bali berjudul Ngetelang Getih Kaang Putih karya Ni Putu Ayu Suaningsih yang dibedah guru SMAN Bali Mandara, IGB Weda Sanjaya.
Lalu bedah buku puisi Gita Rasmi Sancaya karya I Putu Wahya Santosa dengan pembedah dosen STAHN Mpu Kuturan, Putu Reland Udayana Tangkas.
Tampil kemudian parade musikalisasi puisi Bali modern dari Teater Solagracia SMAN 1 Negara, Senja di Cakrawala dari Denpasar dan Seketika dari Denpasar.
Ketua Komunitas Suara Saking Bali, I Putu Supartika menyebut jika sastra Bali modern meskipun memiliki banyak kekurangan namun masih unggul dari sastra Indonesia maupun sastra luar.
Hal ini dikarenakan hingga kini sastra Bali belum tersentuh dan terpengaruh AI semisal ChatGPT maupun Gemini milik Google.
“Dengan ChatGPT misalnya, kita bisa dengan mudah membuat cerpen Indonesia, tapi bahasa Bali belum bisa. Sehingga itu menjadi keunggulan sastra Bali,” ungkapnya.
Meski begitu, menurutnya sastra Bali juga harus sejalan dengan perkembangan teknologi jika tak mau ditinggalkan dan hilang.
Karya-karya yang telah dilahirkan para penulis seyogyanya bisa dialihwahanakan dengan memanfaatkan teknologi termasuk dengan kecanggihan AI.
Dirinya menambahkan, kegiatan festival ini juga sebuah langkah untuk mengaktivasi kampus sehingga bisa bersinergi dan berkolaborasi dalam pemajuan sastra Bali dan bahasa Bali.
Perwakilan STAHN Mpu Kuturan, I Putu Ardiyasa mengatakan pihak kampus menerima dengan tangan terbuka program yang digelar apalagi melibatkan mahasiswa setempat.
“Ini akan menjadi pemantik mahasiswa kami untuk ikut berkreasi dan mengembangkan bakat yang dimiliki. Juga semakin mengenal dan berkolaborasi dengan organisasi di luar kampus,” katanya. (sur/jon)