KLUNGKUNG – Pengelola Museum Nyoman Gunarsa (MNG) tetap gencar ‘berburu’ benda-benda antik dan bersejarah guna melengkapi koleksi museum yang terletak di simpang tiga Dusun Banda, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, Bali itu.
Perburuan benda-benda antik dan bersejarah tidak sebatas di Bali bahkan kerap hingga ke mancanegara salah satunya ke Belanda. Yang teranyar adalah pelawah (penyangga gembelan) saron didatangkan dari Negeri Kincir Angin sebutan Belanda. Menurut pemilik Museum Nyoman Gunarsa, Indrawati Gunarsa, sejatinya pelawah saron itu didapat di Belanda tahun 1993.
Indrawati Gunarsa bersama sang suami Nyoman Gunarsa (almr) mendapatkan pelawah saron itu di salah satu flea market di Belanda. Pelawah saron sebanyak satu tungguh (satu buah) itu diperkirakan berusia kuno. Hal itu terlihat dari motif ukiran yang antik dan warna perada nya sudah luntur. Pelawah itu ditemukan tanpa bilah.
Pelawah itu lalu dibawa pulang ke Klungkung untuk dibuatkan duplikat lengkap satu barung (seperangkat) gambelan saron sekaligus dibuat pula satu barung gambelan gong gede. Bilah (daun) besinya dibuat di pusat kerajinan gong Desa Tihingan, sementara pelawah baik pelawah saron maupun pelawah gong gede dibuat di Museum Nyoman Gunarsa dengan mendatangkan tukang ukir dari Dusun Banda.
“Karena pelawah gong gede itu membutuhkan kayu gelontongan cukup banyak ini yang membutuhkan waktu lama,bertahun-tahun. Kayu nangka ukuran besar saya datangkan sebagian dari Gunung Merapi (sebelum meletus) sebagian dari Yogyakarta,”ungkap Indrawati Gunarsa,Minggu (22/10/2023).
Proses pembuatan bilah juga kata Indrawati memakan waktu cukup lama.Sehingga baru beberapa hari satu barung gambelan saron dan seperangkat gong gede selesai dan tiba di Museum Nyoman Gunarsa.
“Kalau pelawah gong gede (jegogan) tidak bisa diangkat oleh empat orang, enam orang baru bisa,bertanya lebih dari dua ratus kilo. Makanya membutuhkan kayu besar dan mengumpulkannya butuh waktu lama,”kata Indrawati.
Koleksi gambelan saron dan gong gede ini menurut Indrawati sebagi wujud konsistensi seorang Nyoman Gunarsa melestarikan seni dan budaya Bali sekaligus akar kebudayaan nusantara.
Dirangkumdari berbagai sumber, gambelan saron tergolong gambelan tua yang memakailaras pelog tujuh nada.Gambelan saron mempunyai struktur gending yang sangat sederhana bebeda dengan gembelan lainnya. Gambelan sarong digunakan untuk melengkapi jalannya panca yadnya (upacara keagamaan). Tidak banyak desa adat yang memiliki gambelan saron.
Selain koleksi gambelan saron, Museum Nyoman Gunarsa juga mengkoleksi seperangkat gambelan terbuat dari campuran emas dan panca datu (lima unsur logam). Bahkan untuk membuat satu barung gembelan ini, Indrawati mengaku merelakan satu kilo emas miliknya untuk dibuat campuran gong.
“Saya dulunya nabung emas sedikit demi sedikit hingga terkumpul satu kilo lalu dilebur dijadikan bahan gamelan,” kata Indrawati.
Saat ini Museum Nyoman Gunarsa mengoleksi 5 barung gong, dua barung diantaraya merupakan peninggalan bersejarah yakni seperangkat gambelan dari Kerjaaan Karangasem dan seperngkat gong yang sudah ada saat perang Puputan Klungkung tahun 1908.
“Gong yang tahun 1908 (Perang Puputan Klungkung),kami dapatkan dari kelompok masyarakat,”demikian Indrawati Gunarsa.
Kegemaran Indrawati Gunarsa bersama suami Nyoman Gunarsa mengoleksi benda-benda bersjarah dan mengadung unsur seni tidak saja diakui oleh pemerintah bahkan kalangan masyarakat luas juga ikut mengapresiasi.
“Saya sangat berterima kasih dengan pihak Museun Nyoman Gunarsa. Selain koleksinya lengkap, masyarakat yang suka akan seni difasilitasi dengan memberikan tempat latihan menabuh di museum juga difasilitasi peralatan seperangkat gong,” ujar Koordinator Seksi Kebudayaan Wanita Hindu Darma Indonesia (WHDI) Kabupaten Klungkung, Dra I Gusti Ayu Suastari,M.Si. (yan)