![](https://i0.wp.com/wartabalionline.com/wp-content/uploads/2025/02/patung-scaled.jpeg?fit=2560%2C1748&ssl=1)
BADUNG – Sebuah karya yang berupaya mengabadikan pesan konservasi dalam seni kembali dilahirkan oleh seorang seniman patung Bali I Ketut Putrayasa. Bahkan karya monumental seniman asal Tibubeneng, Kuta Utara Badung Bali itu terpajang megah di luar negeri di Singapura.
Adalah patung “Mother & Child” karya Putrayasa, menghiasi salah satu kawasan di Mandai Wildlife Singapura. Dengan diameter 5 meter dan tinggi 3 meter, patung ini menggambarkan Trenggiling Sunda yang meringkuk dengan anaknya, sebuah metafora tentang perlindungan dan kehangatan keibuan.
Tatang B.Sp, seorang pelukis dan pengamat seni yang tinggal di Denpasar, menyoroti bahwa setiap karya patung yang hadir di ruang publik harus memiliki raison d’etre atau alasan kehadiran yang jelas. Patung “Mother & Child” bukan sekadar representasi artistik, melainkan sebuah bentuk edukasi dan pengingat akan pentingnya perlindungan Trenggiling Sunda. “Patung ini membawa pesan konservasi yang kuat, mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap satwa yang semakin langka ini,” ujarnya, Jumat (14/2/2025).
Trenggiling Sunda (Manis javanica) adalah mamalia unik yang tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Keberadaannya kini terancam akibat deforestasi dan perdagangan ilegal, sehingga masuk dalam daftar spesies yang dilindungi oleh IUCN sejak 2016.
Menurut Tatang B.Sp, seni memiliki peran besar dalam membentuk kesadaran kolektif. “Melalui patung ini, publik tidak hanya menikmati estetika, tetapi juga diajak untuk memahami peran ekologis trenggiling dalam menjaga keseimbangan hutan tropis,” tambahnya.
Dibuat dari bahan kuningan dengan rangka stainless, patung ini menghadirkan perpaduan antara kekokohan dan kelenturan. Sisik-sisiknya yang bertumpang-tindih menciptakan ilusi gerak, sementara warna kuningan menambahkan nuansa hangat. “Karya ini bukan sekadar objek visual, tetapi juga menyimpan filosofi mendalam. Keindahan bentuknya selaras dengan pesan yang ingin disampaikan: menjaga keseimbangan alam adalah tanggung jawab kita bersama,” ujar Tatang.
Mandai Wildlife Singapura dipilih sebagai lokasi penempatan patung ini bukan tanpa alasan. Sebagai kawasan konservasi yang menjadi landmark global, Mandai Wildlife memiliki visi untuk meningkatkan kesadaran terhadap keberagaman hayati dan pelestarian satwa liar. Pemerintah Singapura bahkan menargetkan kawasan ini sebagai destinasi wisata konservasi terbesar di Asia.
Dalam perspektif Tatang B.Sp, seni publik memiliki potensi besar dalam menyuarakan isu-isu sosial dan lingkungan. “Patung ini adalah ingatan yang diawetkan. Ia tidak hanya merepresentasikan trenggiling secara fisik, tetapi juga melestarikan nilai-nilai perlindungan dan kepedulian yang harus diwariskan kepada generasi mendatang,” pungkasnya.
Dengan kehadiran “Mother & Child”, seni kembali membuktikan perannya sebagai media refleksi dan edukasi. Patung ini tidak hanya memperkaya estetika ruang publik, tetapi juga menjadi monumen bagi perjuangan konservasi, mengingatkan dunia bahwa setiap spesies memiliki hak untuk tetap lestari di bumi ini. (sur)