DENPASAR- Subak sebagai lanskap penting dari Kebudayaan Bali yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana telah mendapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Dunia. Namun, perjuangan untuk mencapai status itu sebenarnya sangat panjang sebelum ditetapkan pada Juli 2012.
Budayawan Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati alias Cok Ace mengungkapkan hal itu dalam acara Temu Budaya Subak di Unud, Senin (11/11/2024) yang digelar Kementerian Kebudayaan.
“Karena itu harus benar-benar kita pertahankan. Apalagi posisinya makin kuat setelah ada UU tentang Pemprov Bali yang mengakui keunikan pulau ini,” katanya.
Cok Ace sendiri terlibat langsung dalam meraih status dari UNESCO ketika pada tahun 2009 sebagai Bupati Gianyar bersama AA Gde Agung sebagai Bupati Badung ikut melakukan presentasi di Paris.
Saat itu, pihak UNESCO memberikan pertanyaan yang detail mengenai lanskap budaya agraris dan kekhasan subak bila dibandingkan dengan pengelolaan lahan di negara garis lainnya seperti Thailand dan Vietnam.
Hasilnya pada saat itu, subak belum dapat memperoleh pengakuan. Namun pengalaman itu kemudian membuat Kementerian Kebudayaan dan Pemprov Bali membuat kajian yang lebih komprehensif sehingga pada tahun 2012 dapat menyajikan materai yang lebih mendetail.
Hal yang spesifik yang membedakan adalah diangkatnya konsep Tri Hita Karana yang menjadi filosofi kebudayaan Bali. Inipun dibuktikan dengan berbagai kekayaan budaya lainnya seperti dalam karya seni.
“Termasuk penciptaan tari cak yang diilhami Ketika petani mengusir burung di sawah,” sebutnya.
Dalam kondisi saat ini, kata dia, pelestarian subak menghadapi tantangan karena harus bisa mensejahterakan petani sebagai pelaku budaya subak.
“Ini yang harus kita pikirkan karena penghasilan dari pertanian jauh di bawah penghasilan dari pariwisata,” katanya.
Belum lagi, dengan kesan bahwa petani identik dengan profesi yang kotor dan terbelakang sehingga anak-anak muda tidak tertarik untuk melakoninya.
Dari sisi penghasilan, Wakil Gubernur Bali 2018-2023 itu pernah menghitung bahwa hasil panen petani di Bali rata-rata menghasilnya Rp 36 juta per hektar setiap panen dengan waktu produksi 4 bulan.
“Penghasilan itu belum dipotong ongkos produksi, sehingga pendapatan per bulannya sangat kecil,” katanya. Apalagi bila dibandingkan dengan pekerja pariwisata.
Realitanya, kata dia, para petani dan sektor pertanian berada di persimpangan jalan.
Selain harus dibantu dengan berbagai program pemerintah, menurutnya, kawasan pertanian dan khususnya subak juga harus dikelola sebagai daerah tujuan wisata. Sehinggga, lanjut dia, akan terjadi subsidi silang dan mensejahterakan petani.
“Bisa dikelola seperti Desa Ubud yang memiliki monkey forest dan memiliki penghasilan miliaran rupiah,” sebutnya memberi perbandingan. (sur)