
DENPASAR – Komisi I DPRD Bali mènerima aspirasi dari ratusan masyarakat adat Jimbaran, penyakap, pewaris penyakap, pemilik lama, krama desa adat dan krama subak yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet) Jimbaran, Kuta Selatan, Badung di Wantilan DPRD Bali, Senin (3/2/2024).
Kedatangan masyarakat Kepet diterima oleh Ketua Komisi I DPRD Bali Nyoman Budi Utama bersama Wakil Ketua DPRD Bali Komang Nova Sewi Putra, didampingi anggota Komisi I.
Kehadiran ratusan masyarakat Kepet Jimbaran yang dipimpin oleh Nyoman Tekat untuk meminta bantuan kepada wakil rakyat di DPRD Bali terhadap permasalahan hukum yang dihadapi saat ini.
Persoalan hukum tersebut terkait sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah seluas 280 hektar di Jimbaran. Para pihak yang dihadapi adalah perusahaan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali.
Dari aspirasi yang disampaikan masyarakat Kepet Jimbaran menduga ada perpanjangan sertifikat HGB tanah tersebut dipaksakan. Bahkan ketika sertifikat HGB diperpanjang, lahan tersebut dalam keadaan yang sudah terlantar.
Olehkarenanya, masyarakat meminta agar tanah yang terlantar tersebut dikembalikan semuanya kepada pemilik hak-hak yang lama dan bukan diperpanjang sertifikat HGB-nya.
Menurut Perwakilan Kepet, Jimbaran Nyoman Tekat bahwa masyarakat adat telah menempati tanah-tanah tersebut sebelum zaman penjajahan secara turun-temurun.
Tanah tersebut merupakan warisan dari Kerajaan Mengwi Badung. Diatas tanah tersebut pada zaman itu ditanami palawija.
“Kami sudah menempati secara turun temurun dan hasilnya dibagi dilakukan dengan bagi hasil,”ujarnya.
Dihadapan para wakil rakyat di DPRD Bali ini, Nyoman Tekat menjelaskan setelah Indonesia merdeka tanah tersebut diambil alih oleh negara.
Tahun 1994-1995 terjadi penggusuran masyarakat yang dilakukan oleh investor dan dilakukan lewat HGB. Hal itulah yang membuat masyarakat tidak terima, tanah tersebut bersertifikat HGB dan diserahkab kepada investor.
“Banyak masyarakat diusir dari atas tanah disana dan saat ini hanya ada 2 sampai tiga 3 kepala keluarga disana. Masyarakat Jimbaran menduga perpanjangan sertifikat HGB seluas 280 hektat tersebut melawan hukum,”ujarnya.
Alasanya sangat kuat bahwa, ketika perpanjangan sertifikat HGB, tanah tersebut dalam kondisi terlantar. Selain itu menurut Nyoman Tekat perpanjangan sertifikat HGB tersebut telah menyalahi SK Presiden, Mentri dan Gubernur.
Tanah tersebut akan dimanfaatkan untuk kegiatan sarana dan prasarana multilateral yang diselenggarakan tahun 2013. Namun hingga saat ini tidak ada pembangunan dimaksud.
Sementara kuasa hukum masyarakat Kepet Adat Jimbaram Nyoman Wirama menyampaikan tahun 1994, pemerintah melalukan pembebasan lahan dengan alasan untuk kepentingan umum. Pada hal lahan tersebut sudah dinyatakan lahan terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional.
Sayangnya, lahan yang dibebaskan tersebut diterbitkan sejumlah sertifikat HGB. Lahan yang dibebaskan tersebut bukan untuk kepentingan melainkan untuk kepentingan bisnis pribadi. Penerbitan perpanjangan HGB melibatkan BPN.
“Ada sejumlah informasi yang beredar bahwa salah satu perusahaan melakukan kerjasama pengelolaan dan penjualan perumahan dengan perusahaan pengembang property,”bebernya.
Menyikapi aspirasi masyarakat tersebut, Ketua Komisi I Nyoman Budiutama meminta masyarakat yang tergabung dalam Kepet Adat Jimbaran melengkapi semua dokumen yang diperlukan. Setelah dinyatakan lengkap, Komisi I DPRD Bali akan melakukan kajian bersama Komisi I DPRD Bali.
Politisi PDIP asal Kintamani Bangli ini berjanji untuk segera menyikapi aspirasi masyarakat Kepet Adat Jimbaran. Pelajari semua dokumennya, disana ada rumah warga, ada juga pura seluas 25 hektar dan dewan akan membuktikan dulu kebenarannya.
“Setelah dokumen lengkap, kami akan segera memanggil BPN Bali, ada investor seperti yang disebutkan tadi. Apalagi sudah terjadi peralihan hak, kami akan kaji bersama Komisi I DPRD Bali,”janjinya.
Usai menyampaikan aspirasinya masyarakat Kepet Adat Jimbaran langsung bergerak menuju kantor Pengadilan Negeri Denpasar.
Mereka kembali bergerak lengkap dengam gambelan baleganjurnya, guna mengikuti sidang perdana pemanggilan pertama atas kasus sengketan tanah tersebut. (arn/jon)