DenpasarHiburan

Bumi Bajra Sandhi Meramu Apik Gerak Tubuh, Vokal dan Musik

DENPASAR – Gerak lentur nan kuat tentunya menghasilkan santapan tontonan indah dan menghibur. Terlebih, seorang penari  memperlihatkan kemapanan gerak tubuh disertai olah vokal tembang serta terampil memainkan alat musik.

Sajian seni itu diramu apik dalam Pagelaran(Adilango) bertema “Tadah Saji” oleh Yayasan Bumi Bajra Sandhi, Denpasar pada Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Rabu 27 Oktober 2021.  Pertunjukan itu membumikan kesadaran ekosistem alam melalui gerak, vocal dan musik dalam satu jiwa. Pementasan tari kontemporer itupun menuai decak kagum penonton.

Sejak pementasan dimulai, penonton yang hadir dengan menerapkan protokol kesehatan hampir tak bisa melihat kekurangan dari sajian seni terkini itu. Dalam garapan yang menekankan pada pentingnya ekosistem agar tidak terputus dengan mengangkat Burung Tadah Asih, Kedasih atau sering juga disebut Engkik Engkik Engkir mengikuti irama suaranya ditranformasikan dalam energi gerak nan kuat.

Mesti mengangkat kisah burung (hewan), garapan itu juga menggambarkan berbagai tumbuhan dan manusia sebagai sebuah ekositem. Penari dengan olah tubuh yang lentur terkadang berfungsi sebagai tumbuhan, terkadang pula burung, hewan penghuni hutan. Namun, tiba-tiba menjadi manusia yang digambarkan lewat tari panji (pegambuhan) yang kental.

Di balik layar, sosok penggarap Ida Wayan Arya Satyani yang akrab disapa Dayu Ani memiliki pertimbangan dalam mengangkat Burung Tadah Asih itu. Burung itu, memiliki banyak mithologi. Salah satu yang paling terkenal adalah tentang kematian. “Tadah Asih sebagai seorang ibu menatap kematian dengan gagah. Sebab, setelah melahirkan anaknya ia akan mati,” ucap Dayu Ani yang merupakan Dosen Tari ISI Denpasar ini.

Mitos lain, kata Dayu Ani, dengan suaranya yang khas  dipercaya akan ada kematian. Ada juga yang mempercayai itu sebagai jelmaan jin, serta di daerah Kesiman masyarakat percaya suara burung tadah asih itu sebagai petanda kedasa untuk menggelar sebuah upacara.
Memang, secara ekositem, burung itu bermigrasi mengikuti hujan. Kalau dikaitkan dengan “Wana Kerthi”, ekologi dan ekositem itu didalamnya tak hanya ada hutan, tetapi juga ada kehidupan, salah satnya burung.

Kalau burung ini ditakuti karena kalau bersuara sebagai pertanda kematian, maka kalau burung itu tak bersuarapun juga sebagai petanda kematian ekositem, kematian burung tadah asih itu. “Artinya, kita harus mengalami ekositem itu sehingga kehidupan seimbang. Perlu diingat, mitos-mitos itu kemungkinan untuk menjaga kehidupan burung itu sendiri. Karena kalau akan beranak, burung itu hanya satu. Secara biologi burung itu tak mampu membangun sarang, sehingga selalu menitip pada burung lain,” ungkapnya.

Ia mengungkapkan, kalau dari kontek ke manusia, si masa pandemi ini orang menghadapi kematian hanya sebatas angka-angka, apakah masih memiliki empati, mempunyai kasih sayang. Lama-lama tak ada rasa. Kematian itu hanya statistik, tapi rasa itu menjadi ilang. Garapan tari ini, seakan menumbuhkan rasa empati itu kembali.

Tadah asih itu berasal dari kata tadah yang artinya penampung kasih. Struktur karya tari ini sangat simple, sederhana namun kuat dan berisi. Tari ini diawali dari narasi yang didalamnya dipadu dengan puisi. Keduanya ini disajikan untuk membangun kesadaran manusia. Sedih baru ingat dengan Tuhan. Disitu ada kepekaan kasih terhadap mahluk hidup burung yang terbang untuk mencari makan untuk anak-anaknya, sehingga menjaga ekosirem itu penting.

Duet penari laki dan perempuan itu bisa mengisahkan kehidupan burung dan manusia. Jiwa atau siapaun itu, intinya ada dualisme yang tak pernah selesai. Terkadang menjadi burung, terkadang menjadi manusia sebagai simbol ekositem yang tak pernah putus. Karya tari ini menggunakan property kaca sebagai symbol bercermin, menatap diri dan mulat sarira. Selain itu, para penari juga memainkan sinar center ke wajah dan perut (ngunying) untuk mengajak setiap orang untuk mengoreksi diri. Selain membumikan gerak tari nan agung, persembahan karya ini mengajak untuk menyayangi ekosistem bumi dan isinya.

Di dalam garapan itu muncul gerak tari pepanjian dalam dramatari gambuh. Memang, dalam setiap garapan Dayu Ani sempat saja memasukan nuansa tari gambuh yang sedang senang-senangnya menggali pegambuhan, sehingga ada karakter pepanjian muncul dalam garapan itu. Panji sebagai simbol manusia, sehingga dalam ekosistem itu ada tumbuhan, binatang dan manusia. Disamping menampilakn tembang-tembang, karya tari ini menjadi sangat kuat karena diiringi iringan gamelan minimalis oleh Gusde Widnyana.

Warih Wisatsana selaku Kurator mengatakan, Dayu Ani sudah mempunyai stailistik dan pencapaian estitik tersendiri, sehingga semua tubuh para penari sudah terolah secara utuh tampil dalam keseluruhannya. Secara keseluruhannya penampilan mengilhami renungan, membuat sudut pandang menarik dari sekor burung. Maka tarian secara keselutrusahan itu bersifat metaforis, dia bukan tarian yang menjadikan tubuh sebagai tubuh harviah yang hadir di panggung, tetapi tubuh metaforis yang simbolis. Kekhasannya tembang-tembang, dan dengan musik minilalis yang sanngat kuat embuat garapan tari ini menjadi sangat menarik. (sur)

Back to top button