
GIANYAR – Gerimis mengguyur seharian tidak menghentikan langkah ratusan warga Desa Adat Suwat, Gianyar menuju perempatan atau catus pata.
Dari anak-anak hingga orang tua berjalan bertelanjang dada hanya mengenakan udeng, sarung dan selendang di pinggang.
Diperempatan warga mengambil posisi di penjuru mata angin, Timur, Selatan, Barat dan Utara. Ditangah-tengah empat pemangku mengumandangkan mantra-mantar lengkap dengan sesaji. Menyucikan air yang ada dalam gentong tanah dan meminta saksi dari Sang Hyang Surya.
Usai ritual, air dalam gentong tesebut dicampur dengan air yang berada di empat mobil damkar dan gentong-gentong yang ukurannya lebih besar. Dipimpin Bendesa Adat, siat yeh pun dilakukan.
Warga laki perempuan hingga anak anak saling melempar air dengan gayung yang telah dibagikan panitia. Hentakan gambelan baleganjur yang memacu semangat membuat suana menjadi semarak dan meriah. Semua warga basah, bersuka cita mensyukuri berkah yang dilimpahkan di desa tersebut.
Ditengah-tengah ratusan warga itu, sejumlah wisatawan mancanegara pun ikut meramaikan festival yang telah berlangsung 10 kali tersebut.
Setiap awal tahun warga selalu mengadakan siat yeh atau perang air. Perang air tersebut sebagai wujud syukur warga atas limpahan air yang memberikan kesejahteraan untuk warga. Dimana air di Suwat elain untuk keberlangsungan hidup, juga untuk objek wisata, air terjun, yang memberikan pendapatan untuk desa adat.
Jro Bendesa Adat Suwat, Ngakan Putu Sudibya Festival ini dirancang untuk mempromosikan Desa Adat Suwat sebagai destinasi wisata unggulan di Gianyar Utara.
Selain melibatkan masyarakat lokal, wisatawan juga tampak diajak untuk merasakan pengalaman lebih dekat dengan desa melalui paket-paket wisata yang memungkinkan mereka menginap di Suwat.
“Kami terus berdoa agar hasil usaha desa semakin besar sehingga manfaat yang diterima masyarakat pun bertambah. Festival ini adalah bagian dari proses menuju kesejahteraan bersama,” ujar Jro Bendesa Adat Suwat, Rabu (1/1/2025).
Festival Air Suwat ke-10 tidak hanya menjadi perayaan seni dan budaya, tetapi juga wujud nyata harmoni dan keberlanjutan ekonomi masyarakat Suwat. Selain itu, keuntungan dari usaha Suwat Waterfall sebesar Rp80 juta juga dibagikan kepada krama setelah festival ini.
Setiap keluarga menerima bagian sebagai tanda berbagi kebahagiaan dan kesejahteraan. Keuntungan ini menjadi berkah tersendiri bagi Desa Suwat. Meskipun berada di wilayah terpencil, terbukti bisa menarik kunjungan wisatawan.
“Tak hanya untuk krama, kepada anak-anak kami juga bagikan hasil dari objek wisata agar semua dapat menikmati,” jelasnya.
Sebelum perang air di mulai, setiap tahun diberikan ruang berkreasi kepada pelaku seni, untuk tahun ini diawali dengan pementasan Tari Amerta Jiwa “Air sebagai sumber kehidupan”.
Karya ini merupakan representasi dalam memuliakan alam. “Alam telah memberi kita segalanya untuk melangsungkan kehidupan, salah satunya adalah air. Merawat keberadaannya sama halnya kita merawat diri kita sendiri sebagai manusia yang menjadi bagian dari alam itu sendiri. Melalui Festival “Siat Yeh Suwat”, karya tari ini hadir sebagai bentuk persembahan kepada alam,” ujar Konseptor and koreografer I Gede Gusman Adhi Gunawan dari Sanggar Seni Gumiart. (jay)