GIANYAR – Wakil Ketua Komisi I DPRD Gianyar I Nyoman Alit Sutarya merasa khawatir adanya pihak ketiga di balik polemik antara desa adat dengan Pemkab Gianyar terkait revitalisasi Pasar Umum Gianyar.
Alit Sutarya menegaskan, Pasar Umum Gianyar tengah direvitalisasi, bukan membangun baru. “Jika membangun baru tentu ada proses-proses yang dilalui terkait pembebasan lahan dan lainya, dengan tukar guling lahan, atau kompensasi pengganti. Sementara merevitalisasi itu tidak ada kaitanya dengan alasan hak tanah karena proses pembangunan telah final sejak pasar dibangun” tegasnya, Jumat (22/5/2020).
Menurutnya, Pasar Umum Gianyar dibangun dari tahun 1947 dan diperluas tahun 1977. Dalam proses tersebut, sudah ada surat pernyataan dari warga terkait proses ganti rugi atau tukar guling sehingga dalam kurun waktu tersebut tidak ada permasalahan terkait status tanah. Bahkan, tanah pemkab yang dijadikan penukar sudah masuk menjadi tanah PKD atau ayahan desa. “Dana sebesar Rp 250 miliar tidak mungkin terealisasi tanpa ada kejelasan tanahnya. Kenapa ketika adanya revitalisasi baru dipermasalahkan ? “ujar politisi PDIP ini.
Ia menambahkan, wacana revitalisasi pasar dilakukan sejak dua tahun lalu. Dalam kesepakatan bupati dengan desa adat, memberikan tujuh unit ruko untuk desa adat Gianyar, tiga unit ruko puri dan dua unit ruko untuk Desa Adat Beng. “Kesepakatan itu telah diiyakan oleh bendesa dan prajuru adat sekitar lima bulan lalu,”ungkapnya.
Alit menjelaskan, dalam Udang-Udang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat 3, bumi, air, udara, serta kekayaan alam yang terkadandung di dalamnya dikuasai oleh negara sebasar-besarnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. “Jadi, pemkab menguasai bukan memiliki. Terkait Pasar Umum Gianyar, Pemkab menguasai tanah, khan untuk kepentingan masyarakat. Desa adat pun telah diajak bekerjasama untuk mengelola parkir dan senggol,” jelasnya.
Ia mengajak stakeholder di desa adat untuk menyikapi dan mencermati agar jangan sampai desa adat dibenturkan dengan pemkab. Ia juga khawatir masyarakat yang tidak paham dengan situasi terprovokasi. “Setiap permasalahan mari kita koordinasikan dan kedepankan dengan cara dialogis agar jangan sampai ketika desa menginventarisasi aset desa malah menjadi sengketa hukum yang berujung ke ranah pengadilan karena di pengadilan yang dibutuhkan bukti-bukti hukum bukan bahasa kone,” tandas Alit yang juga tokoh masyarakat Desa Adat Gianyar. (jay)