BULELENG – Kisruh yang terjadi pada setiap pembagian bantuan sosial (bansos) kepada warga masyarakat, tak pelak membuat risih dan prihatin wakil rakyat di DPRD Kabupaten Buleleng. Kecemburan antar warga yang dipicu bantuan sosial (bansos) termasuk saat terjadinya pandemi Covid-19, bahkan dikhawartirkan memunculkan konflik dan masalah sosial yang baru.
“Kondisi ini (konflik atau masalah sosial yang dipicu bansos) sangat riskan, banyak terjadi dan harus segera dicarikan solusi,” tandas anggota DPRD Kabupaten Buleleng, Nyoman Gede Wandira Adi, Jumat (15/5/2020) usai meninjau penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST).
Dari hasil pemantauan serta menyerap aspirasi warga di Kelurahan Kaliuntu Kecamatan Buleleng, kata Wandira, banyaknya warga yang tercecer, tidak mendapatkan bantuan sosial baik berupa Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan bantuan sosial lainnya ini terjadi akibat ketidakakuratan data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dibuat Kementerian Sosial Republik Indonesia. “Persoalannya, yang dipakai dasar penyaluran bantuan sosial adalah DTKS, sementara DTKS sendiri tidak secara rutin divalidasi. Sehingga saat dilakukan verifikasi untuk penyaluran bantuan, banyak data yang tidak sesuai,” tukasnya.
Tidak hanya data ganda, menurut vokalis Fraksi Partai Golkar (FPG) ini, dari verifikasi yang dilakukan segera dan dengan waktu yang terburu-buru, hampir setengah dari total jumlah penerima bantuan sebagaimana DTKS tidak valid dan bahkan tidak ada orangnya. “Hal ini tentu sangat menghambat, dan bahkan kerap memunculkan persoalan atau konflik baru,” terangnya. Selain validasi DTKS secara rutin, solusi yang dapat dilakukan terutama dalam penyaluran bansos pada wilayah kelurahan adalah mengakomodir pola atau regulasi penyaluran BLT pada pemerintahan desa. “Disamping dananya jelas 35 % APBDes, regulasinya diserahkan kepada desa,” jelasnya.
Penentuan orang atau keluarga penerima manfaat (KPM) melalui musyawarah desa, sangat tepat dilakukan untuk penyaluran bantuan. “Selain sebagai bentuk pemberdayaan aparatur desa, penentuan KPM melalui musyawarah juga mengedukasi aparatur pemeritahan dan masyarakat dalam mewujudkan transparansi, keterbukaan dan akuntabilitas pemerintahan,” tandasnya.
Pola ini bisa diterapkan pemerintah dalam menyalurkan BLT (APBD) diwilayah kelurahan.”Termasuk, mengatasi ketidakakuratan DTKS sehingga penyaluran bantuan bisa dilakukan tanpa menimbulkan persoalan baru ditengah wabah pandemi Covid-19,” pungkasnya. (kar)