DENPASAR – Dunia teater di Bali saat ini tetap berdenyut kendati tak sesemarak era 70-an. Melihat anak-anak muda yang menekuninya, teater di Pulau Dewata memiliki masa depan cukup menjanjikan.
Hal itu terungkap dalam diskusi Kebahasaan dan Kesastraan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (Diksi) edisi ke-8 yang dilaksanakan secara daring, Jumat 24 September 2021. Kegiatan dipandu dosen program studi pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Ganesha sekaligus pendiri komunitas Mahima Singaraja, Kadek Sonia Piscayanti yang menghadirkan dua pembicara, yaitu Guru Besar Sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., bersama pegiat seni teater, IB Martinaya.
Prof. Darma Putra memaparkan perkembangan teater di Bali sangat dinamis. Ia menceritakan sejarah panjang dunia teater dimulai pada akhir abad ke-19. Pada masa kolonial, masyarakat sudah terbiasa menonton tonil. Begitu juga pada masa Jepang sudah muncul kelompok sandiwara. Era 70-an, dunia teater cukup bergairah dengan tokoh-tokoh penting seperti Abu Bakar, IB Anom Ranuara, dan belakangan muncul Kadek Suardana, serta Putu Satrya Kusuma.
Pengamatan Darma Putra, di arus bawah, dunia teater terus bergerak. Meskipun tidak sesemarak pertunjukan tradisional, dunia teater di Bali tidak tenggelam dan tampaknya akan terus bergerak ke masa depan. Menurutnya, pesimisme atau optimisme terhadap masa depan teater di Pulau Dewata sangat tergantung sudut pandang masing-masing. Dari sudut pandang tertentu, masa depan teater bisa saja menerbitkan pesimisme. Sebaliknya, dari sudut pandang lain memunculkan optimisme.
“Sebetulnya arus bawahnya ada, apakah dia akan muncul sebagai puncak gunung es di samudera kesenian, sulit sekali meramalkannya. Yang pasti, dunia teater di Bali tidak hilang sama sekali. Analoginya, sebagai rumput, mungkin dia belum tumbuh sekali, tapi akar-akarnya di bawah permukaan tanah tetap ada,”kata Darma Putra.
Sebelumnya, seniman senior dalam dunia teater di Bali, Abu Bakar mengatakan, dunia teater sekarang menghadapi situasi yang jauh berbeda dengan era 70-an karena televisi tidak seperti sekarang. Kala itu, teater bisa menghidupi para pekerjanya dan di Jakarta ada 114 grup teater dan bisa melaksanakan pentas setiap hari.
Berbicara teater modern, kata Abu Bakar, tempatnya memang bukan di Bali karena yang hidup mayoritas kesenian tradisi. Kalaupun ada remaja yang bergelut dengan teater modern, itu lebih karena ingin mendapatkan sesuatu. Remaja menekuni acting, musik, atau jazz kemudian memilih teater modern sebagai media ekspresinya.
“Sayangnya, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak sekolah sehingga teater kemudian menjadi kegiatan liburan. Selesai liburan, selesai juga urusan berteater. Kami akan mulai lagi dengan anak-anak yang baru. Secara kontinu, kami tidak bisa mengikuti bakat anak-anak itu. Secara runtut, saya tidak bisa terus mengikuti bakat-bakat mereka,”ujarnya.
Teater modern memiliki pakem-pakem tertentu yang berbeda dengan teater tradisi. Salah satunya harus menghapal naskah. “Dalam teater tradisi, aktor-aktor itu sudah mandiri, menguasai sastra. Hanya diberikan lakon tertentu, sang aktor bisa melakukannya atau bisa menjabarkan sendiri. Teater modern dengan anak-anak sekolah, kadang-kadang juga menjadi masalah tersendiri untuk mendapatkan kematangan dari seorang aktor,”bebernya.
Permasalahan lain, kata Abu Bakar, kegiatan teater juga kegiatan kolektif, berbeda dengan menulis dan melukis. Dengan latar belakang anak-anak sekolahan itu, teater menjadi kegiatan penuh dengan kompromi, betul-betul memerlukan kesabaran dan melelahkan.
Teater modern di Bali juga menghadapi tantangan tantangan penonton yang makin cerdas. Karena itu, para pekerja teater modern dituntut membuat pementasan yang cerdas, tidak menggurui, tetapi pesannya bisa sampai kepada penonton dengan bagus.
“Penonton kita sekarang pintar-pintar sekali. Kita tidak boleh bodoh. Itu tantangan bagi kita. Bagaimana kita bisa memainkan suatu pementasan, di mana tingkat intelektual penonton juga berhasil kita cover. Itu soal. Dengan materi yang amatiran, itu problem besar bagi saya untuk bisa membuat penonton tidak segera jemu, tidak meninggalkan gedung,”ucapnya.
Abu Bakar juga mengkritik pementasan teater anak-anak muda sekarang yang disebutnya terburu-buru melompat ke gaya absurd dan menganggap remeh teater gaya realis. Bahkan, kata Abu Bakar, ada yang berpandangan bahwa jika suatu pementasan maskin sulit dipahami penonton, berarti pementasan itu makin sukses.
IB Martinaya berbeda pandangan dengan Abu Bakar. Pegiat Teater Agustus yang akrab disapa Gus Martin ini justru optimistis terhadap masa depan teater di Bali. Menurutnya, anak-anak sekolahan yang sulit dijaga kontinuitasnya di teater lebih sebagai riak-riak dalam perjuangan seni teater. “Riak-riak itu selalu akan ada dan masa depan teater akan berjalan seperti apa adanya.”ujar Gus Martin.
begitu juga mengenai penonton yang cerdas, Gus Martin berpandangan semua memiliki jalur masing-masing. Ada teater konvensional, teater pembaruan, dan teater kontemporer. Semuanya memiliki segmentasi penonton sendiri-sendiri.
Darma Putra sepakat dengan Abu Bakar mengenai seniman teater yang harus terus meningkatkan kemampuannya. Menurutnya, seniman harus punya kelebihan dalam banyak hal untuk bisa memberikan tontonan dan tuntunan. Kalau seorang seniman tidak mempunyai kelebihan, penontonya jauh lebih hebat, ya, akan ditinggalkan. Oleh karena itu seniman harus selalu menggali pengetahuan untuk dikemas untuk disajikan kepada penonton. “Novelis atau cerpenis sekarang, ya, juga kurang lebih begitu. Banyak sastrawan sekarang haus melakukan penelitian agar apa yang ditulis berbobot dan tidak sampai salah,”kata Darma Putra.
Mengenai minimnya jumlah penonton teater, Darma Putra menyampaikan hal itu harus diterima dan tidak bisa dibandingkan dengan hal lain. Ia mencontohkan dalam sebuah pertandingan sepak bola yang selalu ramai karena memang tidak bisa dibandingkan. “Orang tidak bisa dipaksa untuk menonton sebuah pertunjukan teater. Selain itu, hal itu juga berkaitan dengan kemampuan si pegiat teater sendiri untuk menyajikan pementasan yang memikat sehingga penonton tertarik.”ungkapnya.
Sonia Piscayanti yang juga pegiat teater di Komunitas Mahima menutup diskusi dengan menegaskan bahwa soal masa depan teater di Bali sangat tergantung kepada preferensi dan referensi yang digunakan. Namun, Sonia menyatakan tetap optimistis terhadap masa depan teater di Bali dengan melihat munculnya sejumlah anak-anak muda yang mau suntuk bergiat di teater dengan preferensi dan referensi yang lebih luas. “Teater akan selalu ada. Teater adalah refleksi masyarakat, cermin masyarakat. Selama manusia ada, selama itu teater ada,”tandasnya. (sur)