GIANYAR – Seni menjadi tanda karya manusia. Karya yang dibuat dengan sepenuh hati akan bertransportasi menjadi taksu. Yang dapat ditangkap dalam dialog jiwa dengan indera.
Menangkap makna di balik yang nampak, disitu getar-getar dawai rasa menggerakkan hati. Dari mata turun ke hati dan dari hati muncul imajinasi. Tanpa imajinasi memang sulit memahami. Imajinasi bukan hayalan namun kemampuan melihat makna di balik fenomena.
Begitulah ringkasan narasi pameran tunggal dengan tema Taksu “Bahagia sehat Jiwa Raga” yang digelar 3-14 Juli 2024 di Museum ARMA, Ubud Bali.
Menariknya, sosok seniman dibalik pameran adalah Kasespim Lemdiklat Polri Irjen Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si. Di tengah kesibukan sebagai abdi negara, juga aktif di berbagai komunitas-komunitas seni di Jakarta dan sekitarnya, Yogyakarta, Bandung, kali ini meluas ke Bali.
Pameran menampilkan 135 karya lukisan dalam berbagai ukuran terdiri dari 45 lukisan konvensional dan 90 lukisan kecil sebagai katartik Cuilian Jiwa.
“Sejak SD saya sudah senang dengan lukisan. Saya merasakan ada sesuatu hal yang membahagikan ketika melukis. Saya sampaikan keinginan saya itu ke orang tua, namun orang tua menanggapi, nanti jadi pelukis mau makan apa?,” kenangnya sambal tertawa.
Karena ditanggapi demikian, akhirnya ia memilih sebagai abdi negara. Namun jiwa seninya masih terpelihara. Ia pun belajar seni secara otodidak. Belajar dari buku-buku seni laur negeri yang mengharuskan ia belajar bahasa inggris. Keterkatrikan itu mebuat saya terus belajar apa saja. Karena saya tidak belajar disekolah seni, refrensi banyak dari tulisan negara asing. Itu mendorong saya untuk belajar bahasa asing. Ketika belajar itu ternyata banyak ilmu yang lain yang mendukung.
Terkait styelnya dulu ia ikut sanggar seni, guru saya mengatakan saya akan menjadi pelukis. Tapi guru memintanya belajarlah realis sekuat, semampunya. “Tapi ketika saya harus melepaskan realis. Kemudian beralih Ekpresif,” ujarnya.
Keyakinan yang begitu tinggi untuk menanam dan menyemai di kanvas-kanvas jiwanya menjadikan kutub, magnet yang kuat, untuk menarik positivitas hidup dan menghidupi. Alam semesta beresonasi pada setiap pemikiran-pemikirannya.
Dunia yang luas berada pada bentangan kanvas kosongnya, Cryshnanda Dwilaksana memahami bahwa seni adalah media bagaimana cara berpikir bukan cara melukis. Sehingga kemerdekaan dalam melepaskan ide dan gagasan pada kanvasnya menggelontor saja tanpa ada kompromi atau permisi pada teori-teori.
“Sebagai seniman lukis. Kurang lebih saya telah menghasilkan 3000 karya seni lukis,” jelasnya. Dari karyanya tersebut, ia pun dianugrahi rekor muri sebagai polisi dengan karya lukisan terbanyak.
Sementara pada pembukaan pameran lukisan tersebut dihadiri Pj. Gubernur Bali S.M Mahendra Jaya, Pj Bupati Gianyar Dewa Tagel Wirasa, Pengelingsir Puri Ubud, Tjokorda Oka Arta Ardana Sukawati, dan sejumlah pejabat lainnya. (jay)