![](https://i0.wp.com/wartabalionline.com/wp-content/uploads/2021/02/WhatsApp-Image-2021-02-15-at-4.20.56-AM.jpeg?fit=1280%2C744&ssl=1)
DENPASAR – Widyatula (seminar) secara daring kali ketiga serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021 masih berkutat pada kekayaan usadha sastra Bali dengan tema “Sastra Penaweng Gering: Usadha Bali Pinaka Panepas Gering”, Senin 15 Februari 2021.
Menariknya, pemaparan sejumlah narasumber mengupas berbagai pengobatan tradisional dengan media tanaman tertentu yang digali dari Usadha Bali memiliki khasiat serta telah teruji secara ilmiah.
dr. I Wayan Cahyadi Surya Distira selaku Farmakologi dan Imunologi memaparkan materi tentang manfaat kesambi. Menurutnya, peran tanaman bernama latin Schleichera oleosa itu cukup penting. “Obat tradisional memiliki keunggulan bahan baku alami yang sebagian besarnya berupa tumbuhan, salah satunya adalah kesambi,” kata Cahyadi.
Pengkajian dengan metode kualitatif atau kepustakaan data tersebut, bertujuan untuk mengetahui kebermanfaatan kesambi dalam Usada Bali dari sudut imunologi dan farmakologi. Beberapa naskah usadha yang menjadi rujukannya yaitu Cukildaki, Usada Dalem, Usada Ila, Usada Kecacar, Usada Kuda, Usada Rare, Usada Tiwang dan jurnal kesehatan mengenai kandungan kimiawi serta kebermanfaatan kesambi untuk daya tahan tubuh.
Hasilnya, kesambi memiliki banyak manfaat untuk mengobati cacingan, jerawat, malaria, dan disentri. “Kesambi memiliki kandungan kimiawi yang penting berupa flavonoid. Komponen flavonoid dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta dapat memodulasinya,” jelas peneliti manajemen kebijakan kesehatan di Universitas Gadjah Mada ini.
Narasumber lainya, Dr. I Komang “Gases” Indra Wirawan, S.Sn., M.Fil.H., memaparkan materi tentang “Usada Toya; Air, Mantra dan Yoga sebagai obat yang utama. Akademisi dari Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) ini menjelaskan fungsi air sebagai obat mengatasi segala keluhan penyakit, terutama menyerang psikis.
Sebelum berfungsi sebagai media obat, menurut Indra “Gases”, air harus melewati proses penyucian lewat mantra dan yoga, sehingga berubah nama menjadi “Toya”. Secara etimologis dalam bahasa Bali, kata Toya terdiri dari dua suku kata “To” dan “Ya” yang artinya “itu dia”. “Itu dia” secara tidak langsung menjadi sebuah jawaban yang gamblang bahwa toya adalah obat paling murah dan mujarab.
Yang terpenting, kata Indra, kondisi psikis si pasien harus distabilkan terlebih duhulu lewat yoga. “Yoga jangan diartikan sesuatu yang ribet. Yoga itu adalah memfokuskan diri terhadap suatu hal. Di Bali, banyak jenis yoga yang tidak disadari seperti, menari, makidung, nabuh dan sebagainya. Jadi dalam konteks ini, si pasien harus fokus dan yakin toya akan menyembuhkannya,” ungkapnya.
Salah satu keajaiban toya mampu menyadarkan orang yang sedang kesurupan. Contoh lainnya, bayi yang tidur pulas tiba-tiba terjatuh dari ranjang cukup tinggi, tapi tubuhnya tidak mengalami keseleo. Ini membuktikan keseimbangan air dalam tubuh seimbang saat tertidur.
Sementara, narasumber dari Universitas Udayana (Unud) Dr. Drs. IB Jelantik Sutanegara Pidada, M.Hum., mengungkap tentang ‘ajah-ajahan’ leluhur Bali yang termuat dalam berbagai lontar tentang gering atau wabah. Kesimpulannya, IB Jelantik mengajak seluruh Krama Bali agar menaati protokol kesehatan pencegahan Covid-19 serta meningkatkan sradha bakti sesuai ajaran Dharma agar gering agung Covid-19 segera berlalu.(sur)