GIANYAR – Guna berbagi dalam wawasan dan pengalaman seni kepada generasi muda, sebuah panggung atau ruang bincang seni dihadirkan oleh Museum Arma Ubud.
Dikemas dalam topik ‘Library Talk’ program perdana yang digagas oleh Anak Agung Gede Yudi menghadirkan narasumber budayawan sekaligus kritikus seni asal Prancis Dr. Jean Couteau dan Agung Rai pendiri Arma, serta peserta dari berbagai kalangan utamanya mahasiswa seni, budayawan, perupa, di Warung Kopi Museum Arma, Sabtu (20/4/2024).
Direktur Museum Arma Anak Agung Gede Yudi mengungkapkan program Library Talk ini ingin mewujudkan laboratorium kreatif bagi anak-anak muda Bali.
“Kita bisa mulai dari diskusi seni berdasarkan buku yang dipilih dari perpustakaan Arma. Dimana pembahasan buku juga akan dikaitkan dengan karya-karya maestro Bali yang dipasang di dalam Museum sebagai inspirasi dan bahan pembelajaran bagi generasi muda,” jelas Agung Yudi disela Bintang seni itu.
Ia mengatakan, agenda Library Talk dihadiri para generasi muda hal ini menjadi stimulan bagi anak-anak muda agar mulai kembali mengunjungi ruang publik seni seperti gallery dan Museum.
“Harapannya anak-anak muda nantinya memiliki rasa kecintaan terhadap seni dan warisan budaya Indonesia yang adiluhung,” ucapnya.
Dalam bincang seni itu memilih buku berjudul “ Pioneers if Balinese Painting – The Rudolf Bonnet Collection “ dari Helena Spanjaard. Buku ini merupakan koleksi Arma Museum, dimana isinya merangkum kisah perjalanan seniman Belanda Rudolf Bonnet (1895-1978) selama di Bali dan memuat koleksi karya seni yang dikumpulkan antara tahun 1929- 1978.
Ketika itu Bonnet bekerja dan tinggal di Ubud, sejumlah pelukis yang karya-karyanya dikoleksi oleh Bonnet saat itu antara lain , Ida Bagus Kembeng, Ida Bagus Muku, Ida Bagus Gerebuak, I Gusti Nyoman Lempad, A.A Gede Sobrat, Ida Bagus Made, I Gusti Ketut Kobot, A.A Meregeg, I Dewa Nyoman Mura, I Ketut Ngendon, I Tomblos dan lain-lain.
Dalam pandanganya Agung Rai menceritakan lahirnya karya – karya Pengosekan, Padangtegal, sesungguhnya karya-karya yang berbeda, masing-masing memiliki keunggulan. “Setelah Walter Spies , baru muncul Bonnet , yang mendorong perpaduan gaya lukisan secara teknik sehingga berkembang hingga kini, tetapi hadirnya orang-orang Barat tidak serta merta merubah lokalitas perupa Bali,” ungkapnya.
Dalam penjelasan Jean Couteau budayawan asal Prancis dan menetap di Bali, menyebut keberadaan perupa barat di tahun 1920-an, telah memberi pengaruh kepada anak -anak pribumi. Seperti hadirnya lembaga pendidikan atau sekolah.
“Saat itu mulai ada perubahan pola pikir orang Bali. Orang asing mengubah mentalitas orang pribumi, mulai diperkenalkan kertas,beragam warna cat, hingga kendaraan- kendaraan dsb . Begitupun produk-produk orang Bali mulai dibeli orang asing,” ungkapnya.
Namun Jean Couteau memberi catatan kedatangan perupa barat terutama Bonnet ke Bali khususnya Ubud, mereka pernah mendidik pola Barat, dimana saat itu perupa klasik Bali sedikit kaget melihat pola lukisan barat.
Yakni lebih mengenal gaya realis, klasik gaya Eropa, sedangkan di Bali gaya pewayangan masih kental. “Ketika orang Bali pertama kali menyaksikan seniman asing yang melukis, mereka menarasikan rialis namun banyak seniman lokal tidak tertarik. Orang Bali lebih menarik melukis Wayang. Namun kelebihan garis-garis itu dipahami oleh seniman Bali sehingga ada satu keunggulan tersendiri dalam memajukan gaya seni lukis Ubud dan sekitarnya, sehingga kita mewarisi karya-karya hebat seniman Ubud hingga sekarang,” ungkapnya. (sur,dha)