GIANYAR – Sanggar Seni Kakul Mas, Desa Batuan, Kacamatan Sukawati, Gianyar menampilkan garapan Drama Tari Gambuh “Bhagawan Dharmaswami”. Garapan seni tari klasik ini tayang di Channel YouTube Dinas Kebudayaan Provinsi, Kamis 4 Februari 2021 malam serangkaian sesolahan seni sastra virtual Bulan Bahasa Bali 2021.
Meski tampil secara virtual, drama tari yang tergolong klasik ini betul-betul menyajikan khas Gambuh Batuan yang biasa dilakukan seniman sepuh di desa tersebut. Orang awam mungkin menganggap penampilan gambuh ini layaknya gambuh umumnya ala gaya Pedungan atau Karangasem. Padahal, kalau dicermati, ada yang unik dan khas, seperti gerak tari dan gending yang dibawakan. Itulah yang membedakan Gambuh Batuan dengan lainnya. Gending-gending yang dinyanyikan adalah gending “meadan” (memiliki nama). Salah satunya, Gending Sekar Gadung yang khusus dinyanyikan oleh tokoh Arya. Dalam gambuh lain juga ada, tetapi dengan nada yang lain.
Sedangkan dalam tari, ciri khas gaya Batuan itu ada pada gerak “ngalih pajeng” (mencari payung). Gerak tari yang unik ini dilakukan tokoh Arya, Prabu, Condong, dan Tumenggung Semua penari biasa melakukan gerakan seledet (gerakan mata melirik ke sudut mata). Demikian pula iringannya yang menggunakan alat klasik khas Gambuh Batuan.
Garapan berdurasi sekitar satu jam ini didukung oleh penari-penari muda dan tua. Demikian pula pendukung iringan musiknya, semuanya penabuh tua yang biasa tampil dalam kegiatan gambuh sebelumnya. Para penari terdiri dari Ni Ketut Kontri, Nrta Luhur, Swasti Dewi, Juniati, Sumariani, Ditha, Made Rubuh, Warja, Sudiawan, Sudarma, Yande Sukahati, Tilin Karismaya, Natya, Dek Swi, Mang Adi, dan Dek Edo. Sementara pendukung tabuh yakni, Marcono, Galang Widnyana, Artawa, Manggi, Mardika, Yan Agus, De Kori Agung, Samben, dan Daweg.
Garapan drama tari secara virtual ini, sebelumnya direkam disatu tempat, yakni di Sanggar Kakul Mas Batuan. Hal itu dilakukan, karena sebelumnya Sanggar Kakul Mas tampil secara luar Jaringan (Luring) yang mengambil tempat di Art Center, Taman Budaya. “Namun, karena situasi dan lain hal, Kami diminta panitia untuk tampil secara virtual juga. Maka itu, kami hanya merekam disatu tempat saja, dengan latar yang bisa yang berbeda-beda” kata Ketua Sanggar I Ketut Wirtawan.
Adapun kisahnya, di Kerajaan Madura, Raja bersedih hati karena kehilangan putra mahkota pada saat berburu ke tengah hutan, para patih dan dayang-dayang kerajaan menghibur duka lara tuanya. Berbeda dengan Begawan Dharmaswami hidup harmonis dengan seisi hutan belantara, para binatang si macan, kera dan ular sangat setia mendampingi sang pendeta. Suatu hari Sang Begawan mendapati seorang yang berkelana bernama Pande Swanangkara jatuh kedalam sumur, berbaik hatilah sang pendeta menolong Pande Swanangkara. Merasa kasihan terhadap Pande Swanangkara, diberikan sebuah mahkota putra raja Madura yang ditemukan Begawam diteangah hutan. Sumringah Pande Swanangkara menerima mahkota tersebut dan segera bergegas pamit.
Menghadaplah Pande Swanangkara kepada Raja Madura menghaturkan mahkota putra raja, diterangkan bahwa Begawan Dharmaswami memberikan mahkota ini karena beliau tiada lain yang membunuh putra raja. Raja Madura naik pitam memerintahkan punggawanya unuk mencari Begawan Dharmaswami dan diikat dialun-alun kerajaan. Melihat hal tersebut para binatang, macan, kera, dan ular menyerang Kerajaaan Madura, Raja berhasil dipatuk oleh si ular hingga jatuh sakit.
Penasehat Raja mengatakan bahwa hanya Begawan Dharmaswami yang bisa menyembuhkan raja. Maka dilepaslah Begawan Dharmasawami, sang pendeta dengan suka hati segera mengobati raja. Raja seketika itu pulih kembali, diperintahkanlah para patih menangkap Pande Swanangkara untuk dihukum sesuai perbuatannya.
Sementara itu, selaku kurator yang juga penggiat Bahasa, Sastra dan Aksara Bali, Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum mengungkapkan, pergelaran seni sastra yang ditampilkan dalam Bulan Bahasa Bali 2021 ini diambil secara penuh dari khazanah Sastra Bali, baik yang bergenre cerita rakyat, tutur, usadha, geguritan, kidung maupun kakawin.
“Pegelaran yang mengambil sumber cerita rakyat misalnya Men Sugih lan Men Tiwas. Pagelaran yang diambil dari karya sastra tutur misalnya Tantu Panggelaran. Pergelaran yang diambil dari usadha Bali misalnya Taru Pramana, dan sebagainya,” kata Guna Yasa.
Lanjut dia, pergelaran yang diambil dari karya sastra kidung misalnya Bhagawan Dharma Swami. Pagelaran yang diambil dari kakawin misalnya fragmen Ramayana. Keseluruhan cerita dalam pagelaran seni sastra menerjemahkan tema Wana Kerthi. Melalui pagelaran tersebut diharapkan kesadaran untuk melestarikan, menjaga, dan memberdayakan hutan dapat tumbuh dalam hati masyarakat Bali. “Sejak dulu, seni adalah cara yang paling efektif membumikan ajaran-ajaran,” tambah Guna Yasa.(*)