KLUNGKUNG – Pengelolaan Pasar Umum Galiran menyisakan berbagai persoalan di penghujung tahun 2024. Mulai dari masalah sampah,pedagang bermobil,pedagang lancuban hingga realisasi pendapatan pasar yang tidak sesuai target.
Semua persoalan ini menjadi sorotan Komisi Dua DPRD Klungkung yang sempat melakukan kunjungan ke Pasar Galiran dan ke pihak pengelola pasar. Padahal Pasar yang dikelola oleh Pemkab Klungkung memiliki potensi besar dalam mendulang pendapatan asli daerah (PAD).
Pasar Umum Galiran salah satu contohnya, selama ini menjadi andalan Pemkab Klungkung dalam mengumpulkan pundi-pundi PAD melalui berbagai saluran pendapatan seperti retribusi pasar, retribusi parkir, sewa tempat, pajak usaha.
Ketua Komisi Dua, Nengah Ary Priadnya dikonfirmasi, Senin (6/1/2025) menyampaikan, dari hasil observasi Komisi Dua,hal nyata yang terlihat adalah tumpukan sampah pasar. Kondisi ini menurut Ary Priadnya, akibat ada pembatasan pengangkutan sampah yang dibuang ke TPA Sente. Sehingga terkadang masih banyak sampah menumpuk belum bisa diangkut.
“Terkait masalah sampah kami akan koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan,” tandas Ary Priadnya, Senin (6/1/2025).
Selain masalah sampah, persoalan yang juga disorot dan mendapat perhatian Komisi Dua adalah soal status pedagang bermobil dan pedagang lancuban yang berjualan di depan Terminal Galiran (di luar area pasar). Mereka ini menurut Ary Priadnya tidak dipungut retribusi pasar karena berjualan di luar area pasar.
Pedagang hanya membayar retribusi parkir. Hal ini pula menyebabkan realisasi pendapatan pasar pada Bulan Desember 2024 tidak memenuhi target. Bagi Ary Priadnyana, situasi itu bentuk kesimpangsiuran kewenangan dua institusi yakni Unit Pelaksana Teknis Pasar dan Dinas Perhubungan.
“Jadi masih simpang siur terkait kewenangan memungut retribusi pedagang. Kami akan segera koordinasi dengan Dinas Perhubungan dan pengelola pasar,” kata politisi asal Desa Pesinggahan,Kecamatan Dawan ini.
Ia juga menyentil tugas Satpol PP yang menurutnya, semestinya Satpol PP juga ikut memantau ketertiban di wilayah sekitar pasar. Sehingga pedagang-pedagang yang berjualan di luar area pasar diarahkan berjualan di dalam pasar.Apalagi mereka berjualan di tempat yang dilarang untuk berjualan.
“Jangan dibiarkan liar begitu saja,” lontarnya.
Keberadaan pedagang bermobil yang berjualan di depan Terminal Galiran sempat memicu aksi demo pedagang di dalam pasar. Pasalnya, lokasi yang ditempati selain bukan peruntukan untuk berjualan, mereka ini kerap memunculkan berbagai persoalan mulai dari macet hingga protes keras pedagang di dalam Pasar Galiran.
Mereka juga tidak dikenakan retribusi pasar tapi hanya dipungut biaya parkir dengan besaran bervariasi mulai Rp 5.000- Rp 10.000 per pedagang. Mereka juga bisa berjualan selama 24 jam.
Anehnya, sesuai tarif parkir resmi yang sudah dipajang pihak Dinas Perhubungan di depan terminal, untuk mobil pickup tarifnya hanya Rp 2.000. Sementara pembeli enggan masuk ke dalam pasar, memilih berbelanja di depan terminal.
Di pihak lain, pedagang yang berjualan menggunakan mobil di dalam Pasar Galiran mereka harus membayar retribusi pasar Rp 30.000 per shift. Pedagang bermobil di dalam Pasar Galiran diberikan waktu dalam dua shift, mulai pukul 10.00 Wita hingga pukul 17.00 Wita. Shift berikutnya mulai pukul 17.00 Wita hingga pukul 04.00 Wita dini hari.
Belum lagi mereka harus bayar parkir Rp 10.000 ketika mereka masuk terminal menunggu jadwal shift masuk ke dalam pasar. Adanya perlakuan tidak adil inilah memicu gelombang demo oleh pedagang bermobil yang berjualan di dalam pasar. (yaan)