
BADUNG – Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Tanjung Benoa, telah memenuhi undangan dari United Nations Development Programme (UNDP) untuk hadir berpartisipasi dalam pelaksanaan hajatan internasional World Bosai Forum 2025. Kegiatan diselenggarakan di Sendai, Jepang, belum lama ini.
Menariknya, dalam partisipasi tersebut, FPRB Tanjung Benoa juga memaparkan fungsi kulkul yang merupakan kearifan lokal Bali dalam kaitannya dengan mitigasi bencana. Yang mana kulkul, termasuk oleh masyarakat pesisir Bali, dipergunakan sebagai sarana komunikasi, berikut dalam hal tanggap darurat bencana.
Ketua FPRB Tanjung Benoa, I Wayan Deddy Sumantra menuturkan, pemaparan mengenai kulkul tersebut disampaikan sendiri olehnya. Mengutip paparannya, kulkul disebut sebagai sebuah sarana komunikasi yang dimiliki oleh hampir seluruh desa adat di Pulau Dewata. Dan hingga kini, hal itu masih eksis dipertahankan dalam peran sosial dan religius.
“Kulkul memiliki peran yang kompleks dalam bidang sosial dan budaya Bali. Di antaranya, adalah berperan sebagai mitigasi bencana. Bencana tidak dapat diprediksi secara tepat kapan datangnya. Namun demikian, masyarakat tradisional memiliki cara local genius yang dapat memitigasi bencana agar meminimalisir kerugian ataupun korban yang terjadi,” ungkapnya.
Dalam hal tanggap darurat, sarana komunikasi yang terbuat dari kayu ataupun bambu tersebut terbilang sangat beragam fungsinya. Baik itu berkenaan dengan bencana vulkanis, gempa bumi (linuh), pandemi, kebakaran, tanah longsor, dan lain sebagainya.
“Walaupun teknologi komunikasi telah berkembang pesat, kulkul ini masih eksis dipergunakan. Setiap pukulan kulkul, akan menyertakan sebuah pesan. Bila suara kulkul bertubi-tubi tanpa jeda, itu biasanya sebagai indikasi terjadinya kedaruratan, seperti bencana ataupun kekacauan,” imbuhnya.
Sementara suara kulkul yang kemudian disambut teriakan ‘idup, idup, idup,…’, sambung dia, biasanya menjadi penanda kewaspadaan terkait dengan peristiwa gempabumi. “Jadi suara kulkul ini merupakan alat komunikasi yang efektif untuk secara cepat memberikan kode terhadap gejala alam ataupun bencana yang terjadi,” sambungnya sembari menyebut bahwa berbagai pihak berwenang, tentunya dapat memanfaatkan kearifan lokal tersebut sebagai mitigasi bencana, termasuk dalam hal penanggulangan bencana Tsunami.
Di lain hal, Deddy juga menuturkan bahwa pada partisipasi dalam acara internasional tersebut, pihaknya juga memaparkan soal tantangan dan langkah mitigasi bencana Tsunami di Tanjung Benoa. Mengingat Tanjung Benoa, merupakan daerah tujuan pariwisata yang memiliki risiko tinggi terhadap ancaman tsunami, yakni dengan potensi gempa berkekuatan hingga 8.5 magnitudo. Yang mana berdasarkan skenario terburuk, seluruh wilayah Tanjung Benoa dapat terdampak gelombang Tsunami setinggi lebih dari 3 meter.
“Sebagai respon terhadap ancaman ini, kami FPRB Tanjung Benoa berperan dalam menginisiasi kolaborasi antara berbagai pihak. Termasuk pemerintah adat, pemerintah daerah, dan institusi pendidikan, untuk mewujudkan Tanjung Benoa sebagai desa tangguh bencana. Salah satu inisiatif penting yang difasilitasi adalah MoU antara pemerintah lokal dan sektor perhotelan dengan dukungan UNDP,” pungkasnya, seraya mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang selama ini telah memberikan dukungan. Seperti UNDP, Bupati Badung, Sekda Badung, Ketua DPRD Badung yang sekaligus Ketua FPRB Badung, BPBD Badung, serta segenap keluarga besar FPRB Tanjung Benoa. (adi,dha)