KLUNGKUNG – Sejengkal tanah di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung sangat berarti karena memiliki nilai ekonomis tinggi, akibat dampak pesatnya pertumbuhan industri pariwisata.
Namun, kondisi itu tidak semata berdampak positif juga berpotensi memunculkan masalah hukum karena sengketa tanah terutama tanah yang belum ada sertifikatnya. Beberapa sengketa tanah belakangan memang mulai muncul di Nusa Penida.
Misalnya, sengketa tanah seluas 330 meter persegi di Banjar Gelagah Desa Kutampi, antara salah seorang warga dengan pihak prajuru banjar adat. Kasus ini sempat dilaporkan ke Polda Bali oleh warga dimaksud karena ada indikasi, perbekel (kepala desa) dan oknum kelihan banjar adat melakukan perbuatan tindak pidana memalsukan surat.
Dimana surat palsu itu dijadikan dasar mengajukan permohonan sertifikat hak milik. Sengketa tanah di Banjar Gelagah ini, kini sedang bergulir di Pengadilan Negeri Semarapura disidangkan dalam perkara perdata.
Kasus serupa juga muncul di Desa Ped, Nusa Penida,pihak Desa Adat Nyuh Kukuh bersengketa dengan salah seorang warganya gara-gara memperebutkan sebidang tanah.Kasus ini juga sedang bergulir di Polda Bali, setelah Bendesa Adat Nyuh Kukuh dilaporkan atas dugaan melakukan penyerobotan.
Fenomena ini memantik keperihatinan salah seorang prakisi hukum asal Nusa Penida I Ketut Alit Priana Nusantara. Alit yang juga seorang akademisi mengingatkan warga maupun kepala desa untuk senantiasa mewaspadai surat sporadik palsu atau dibuat dengan cara rekayasa.
“Bicara yang rawan yang belum jelas haknya seperti, laba pura,tanah negara , tanah hutan,tanah bukti atau tanah catu itu rawan. Karena tanah yang belum bersertifikat sangat mungkn kepala desa mengeluarkan surat sporadik (palsu) penguasan berturut turut selama 20 tahun,” tandas Alit Priana usai menjadi saksi ahli dalam sidang perkara gugatan tanah berlokasi di Banjar Gelagah,Kamis (9/1/2025) di Pengadilan Negeri Semarapura.
Aliat Priana mengatakan, bayangkan tanah ditinggalkan oleh yang punya tanah ikut transmigras, tapi dia menitipkan kepada seorang penyakap (penggarap). Pemilik tanah memiliki asal usul yang jelas atas tanah dimaksud.
“Tiba-tiba penyakapnya dapat surat sporadik dari kepala desa, maka bisa jadi akan keluar sertifikat. Pertanyaannya benarkan surat itu (sporadik) berdasarkan penguasaan ? jika tidak ada yang komplin maka BPN akan memproses permohonan sertifikat itu. Jika praktek-praktek seperti ini dibiarkan dan tidak tersentuh hukum,makan akan jadi preseden buruk kedepannya,” ungkap Alit Priana.
Terkait di Nusa Penida, kata dia jika praktek seperti ini terjadi dan tidak ada tindakan hukum, bisa jadi bom waktu untuk kemudian hari. Karen itu, Alit Priana mengingatkan warga senantiasa waspada, kepala desa tidak serta merta mengeluarkan surat keterangan penguasaan tanah (surat sporadik) tanpa mengedepankan prinsip kehati-hatian.
“Okelah kepala desa adalah pelayan masyarakat. Apakah semua bentuk permohonan warga haruss dilayani kalau tidak sesuai kondisi yang sebenarnya ?. Melayani harus proper dan kedepankan prinsip kehati-hatian,” demikian Alit Priana. (yan)