DENPASAR – Majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar diketuai Gede Putra Astawa menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Bendesa Adat Berawa, I Ketut Riana (54).
Sidang putusan digelar di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (3/10/2024). Selain pidana penjara, terdakwa I Ketut Riana dikenakan denda Rp200 juta, yang apabila tidak dibayarkan diganti pidana kurungan empat bulan.
Hakim juga meminta barang bukti uang Rp100 juta yang berada di dalam amplop coklat BRI dan dibungkus tas kuning beard papa’s dikembalikan kepada saksi Andianto Nahak T Moruk.
Hakim menilai perbuatan Riana melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Majelis Hakim menilai unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan tunggal Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tipikor sudah terpenuhi, mulai dari unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Terdakwa selaku Bendesa Adat menerima insentif dari APBD Badung, dan Pemprov Bali setiap bulannya.
“Terdakwa sebagai Bendesa Adat Berawa dipilih melalui hasil paruman, hasil paruman diserahkan melalui Majelis Desa Adat (MDA) ke Pemkab Badung, Rekomendasi penerbitan SK pengukuhan sebagai Bendesa Adat diterbitkan oleh MDA,” ujar Gede Putra Astawa.
Kemudian, unsur secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, serta unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Sesuai fakta yang terungkap dalam persidangan, baik dari bukti percakapan WhatsApp atau keterangan saksi, terdakwa telah terbukti meminta uang kepada saksi Adianto Nahak T Moruk sebesar Rp10 miliar.
Pemintaan tersebut tidak disampaikan ke perangkat desa lainnya atau masyarakat. Selain itu, unsur memaksa seseorang memberikan sesuatu.
Majelis Hakim tidak sependapat dengan pledoi penasihat hukum terdakwa yang menyebut perkara ini adalah suap. Sebab, ada permintaan dengan unsur memaksa yang dilakukan terdakwa berdasarkan bukti percakapan atau chat WhatsApp.
Unsur perbuatan yang berlanjut juga terpenuhi. Mengingat, permintaan itu secara berulang-ulang disampaikan oleh Ketut Riana kepada saksi Andianto Nahak T Moruk yang ditugaskan mengurus izin oleh PT Berawa Bali Utama dalam rangka melancarkan pembangunan.
Terkait unsur kerugian kerugian negara, hakim menyatakan tidak terpenuhi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 18 UU Tipikor.
Hakim menyatakan hal-hal yang memberatkan dari perbuatan I Ketut Riana, yaitu bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan terhadap segala jenis tindak pidana korupsi.
Sedangkan hal-hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan terdakwa sopan dalam persidangan. Hasil putusan ini lebih rendah dua tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Bali yakni enam tahun penjara.
Riana yang ditemui wartawan seusai sidang mengaku bingung dengan putusan hakim karena merasa tidak merugikan negara dan bukan pegawai negeri.
“Saya selaku bendesa adat bingung dengan putusan hakim karena saya tidak pegawai negeri dan saya tidak merugikan negara. Kalau saya pegawai negeri harusnya mendapatkan NIP, SK, tunjangan. Jadi, bendesa adat itu istilahnya ada ngayah dan tidak ada batas waktu. Kalau pegawai negeri ada batas waktu kerja. Disitu saya bingung,”ucap Riana didampingi penasihat hukum Gede Pasek Suardika, dkk.
Kajati Bali Ketut Sumedana menyambut baik dan mengapresiasi putusan majelis hakim.
“Semoga ini menjadi pembelajaran bagi aparatur di daerah sampai ke tingkat paling bawah. Jangan lupa kita bekerja dalam senyap, tetap bekerja untuk hal seperti ini, karena perbuatan-perbuatan seperti ini telah merusak nama baik Bali, menyebabkan higt cost ekonomi dalam bidang investasi , dan menganggu iklim investasi di Bali khususnya,”ujar Ketut Sumedana melalui siaran pers. (dum)