DENPASAR – Ide Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotejo agar cabang olahraga (cabor) dalam pelaksanaan PON mendatang dibatasi, yang diungkapkan usai pelaksanaan PON Aceh dan Sumut di Medan lalu, membuat Ketua Umum KONI Badung Made Nariana kurang setuju.
Pasalnya ide Dito Ariotejo itu yakni cabor yang ada kaitan dengan kejuaraan internasional saja yang dipertandingkan selanjutnya.
Cabor dengan kaitan even internasional itu seperti cabor yang dipertandingkan di Asian Games, SEA Games atau Olimpiade, yang diutamakan dalam PON.
“Saya kurang setuju,” tutur Made Nariana Ketika diminta komentarnya terkait semua itu di Bandara Ngurah Rai Bali, Sabtu (21/9/2024) malam.
Pertimbangan mantan Ketua Umum KONI Bali itu berdasarkan AD/ART KONI dimana PON digelar selain meningkatkan prestasi atlet juga bertujuan meningkatkan solidaritas, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui olahraga.
Selain itu jargon olahraga Indonesia adalah memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.
Jargon ini pengertiannya, makin banyak masyarakat mau berolahraga tentu sangat baik, untuk membentuk watak bangsa atau membangun caracter building Masyarakat. Olahraga merupakan investasi manusia Indonesia. Tujuan PON lebih luas daripada sekadar hanya prestasi.
“Malah yang perlu dibenahi dalam PON adalah priofesionalisme penyelenggaraan, kejujuran, keterbukaan, fairplay dalam setiap pertandingan atau kejuaraan. Contohnya, berdasarkan catatan pengalaman siapa yang menjadi tuan rumah selalu diuntungkan menduduki posisi tertentu. Itu bukan karena akibat prestasi atletnya, namun karena lobi tuan rumah yang harus dipenuhi sehingga peserta/atlet lain mau mengalah memberikan kemenangan kepada atlet tuan rumah,” beber Nariana.
Selain itu lanjutnya, jauh-jauh sebelum PON dimulai tuan rumah sering melobi daerah lain, minta atlet ini dan atlet itu di semua cabor diberikan posisi emas karena KONI tuan rumah memberi target supaya meraih medali utama itu.
“Makanya banyak daerah begitu tidak menjadi tuan rumah kembali anjlok posisinya ke ranking bawah. Contohnya Kaltim, saat jadi tuan rumah dalam PON XVII tahun 2008, posisinya peringkat 3 besar. Begitu menjadi tamu ke daerah lain, langsung anjlok ke posisi bawah,” tegas Nariana.
Cara-cara pelaksanaan PON dengan mendapat kewenangan atau keinginan khusus tuan rumah itu diakuinya, harus dibenahi Menpora atau KONI. Kalau terus-terusan demikian, sampai kapan pun olahraga Indonesia tidak akan maju. Apalagi wasit sepkabola misalnya dapat dikendalikan tuan rumah supaya memenangkan kesebelasannya.
“Saya mendapat laporan dari pengurus cabor, atletnya harus mengalah di posisi perak, sehingga tuan rumah mendapat emas. Kalau tidak mau atlet tersebut langsung di diskualifikasi. Yang begini-beginilah harus ditiadakan dalam PON, sehingga professional demi kemenangan murni sorang atlet,” pungkas Made Nariana. (ari/jon)