Tiga narasumber Workshop Literasi, Ketua SMSI Bali Emanuel Dewata Oja (kiri), Dosen Universitas Ganesha (Undiksha) Singaraja Dr Wayan Artika, dan Penanggung Jawab Suara Tabanan Visual, Wayan Ariasa (kanan).
TABANAN – Dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa dan masyarakat mengenai literasi media di era digitalisasi, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Tabanan menggelar workshop “Literasi Media di Era Digital” (pembelajaran, tantangan, dan peluang) berlangsung di Aula SMPN 1 Selemadeg, Tabanan, Kamis (25/7/2024).
Tampil sebagai narasumber dan pemateri dalam workshop tersebut yakni Ketua SMSI Bali Emanuel Dewata Oja, Dosen Universitas Ganesha (Undiksha) Singaraja Dr Wayan Artika, dan Penanggung Jawab Suara Tabanan Visual, Wayan Ariasa.
Kepala SMPN 1 Selemadeg Ni Wayan Sri Yasmini, SPd., MPd selaku tuan rumah dalam sambutannya mengatakan workshop ini diikuti peserta 39 dan 13 guru pendamping serangkaian HUT ke-60 sekolah tersebut dan dihadiri Sekdis Dinas Pendidikan Kabupaten Tabanan I Made Dharma. Ia berharap anak didiknya bisa memanfaatkan pembelajaran literasi digital ini dengan baik.
“Literasi tidak hanya membaca dan menulis akan tetapi bagaimana memahami digitalisasi yang memadai . Manfaatkan pembelajaran ini dengan baik dan untuk berbagi pengalaman literasi digital dan bagi peserta terbaik akan diberikan penghargaan,” tandas Sri Yasmini.
Dalam sesi pertama Ketua SMSI Bali Emanuel Dewata Oja memaparkan terkait UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang di dalamnya terdapat Kode Etik Jurnalistik (KEJ). “SMSI adalah asosiasi perusahaan media siber atau online yang merupakan konstituen dari Dewan Pers. Dalam menyampaikan produk berita selalu berpatokan pada etika, fakta, dan kode etik jurnalistik dan kode perilaku wartawan,” ungkap wartawan senior yang akrab disapa Edo ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan tentang perbedaan produk pers dengan media sosial (medsos) yang hanya menyampaikan informasi dan kerap tak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran. “Tapi media pers menyampaikan berita yang sudah terkonfirmasi kebenarannya,” tegasnya.
Edo yang juga Wakil Ketua PWI Bali ini juga menegaskan perbedaan lainnya, media sosial seringkali memiliki kantor, badan hukum, pemimpin redaksi, wartawan yang kompeten dari hasil Uji Kompetensi Wartawan (UKW). “Sedangkan media sosial hanya individu yang tak punya standarisasi kewartawanan, tak punya tim redaksi, dan sumber beritanya tak jelas, bahkan bisa direkayasa. Dalam sikon seperti inilah media pers harus tampil sebagai ‘cleaning house’ atau menjadi rumah pembersih,” beber Edo.
Diungkapkan pula, berdasarkan data dari Dewan Pers, Indonesia adalah negara dengan jumlah media terbanyak di dunia. Total media di Indonesia 62.000, terbesar di dunia. “Bayangkan, di negara kita ada 2.000 media media cetak, namun dari jumlah tersebut hanya 321 media cetak yang memenuhi syarat disebut sebagai media profesional yang akibat era digitalisasi jumlahnya makin lama makin menyusut. Terdapat 58.803 media online, tetapi yang tercatat sebagai media profesional hanya 168 media online saja. Kemudian media radio berjumlah 674 dan 523 media televisi, tidak termasuk TV streaming,” rinci Edo.
Sementara itu pemateri kedua Dosen Sastra Undiksha Dr Wayan Artika lebih berharap website dan komunitas sastra dan jurnalistik di sekolah-sekolah lebih diaktifkan untuk melatih literasi dan kemampuan menulis.
“Ada tiga periode literasi. Yang pertama lisan. Kemudian yang kedua aksara, tulis, cetak, dan kapitalisme cetak. Dan yang terkini digital dan medsos. Di sinilah anak-anak mesti memanfaatkan ruang digital ini untuk meningkatkan minat baca dan kompetensi menulis,” saran Artika yang juga Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali.
Di sesi berikutnya Penanggung Jawab Suara Tabanan Visual Wayan Ariasa menekankan kegiatan ini diselenggarakan untuk memberikan pemahaman literasi digital dan cara menulis berita terutama untuk anak-anak SMP di Kecamatan Selemadeg Raya.
“Teknologi dengan basis android sekarang ini sangat pesat menggempur kita. Maka di sini kita ingin memberikan sharing edukasi terhadap anak-anak, guru-guru, bagaimana mampu menyimak, memahami, dan kemudian menerjemahkan informasi yang memang perkembangannya sangat pesat,” papar Wayan Ariasa.
Menjawab pertanyaan dari peserta terkait “post truth” atau kebenaran palsu, Ariasa mengatakan bahwa banyak ancaman dan informasi bohong atau hoaks yang bertebaran terutama di media sosial, maka siswa harus diliterasi agar bisa menyaring informasi dengan benar dan yang bertanggung jawab.
“Ini yang menarik, sebetulnya ancaman di media sosial dan pengaruhnya di rumah tangga kita. Terutama fenomena mereka tidak bisa membedakan mana yang benar, mana yang salah, dan seterusnya sehingga banyak kejadian mereka tertipu karena tergiur dengan sesuatu yang tampak sangat indah, sangat mewah, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Ia menilai pola hidup konsumtif juga mempengaruhi. Jika masyarakat salah memilih dan kalau tidak mendapatkan edukasi sejak dini tentang kemajuan teknologi ini, akan menjadi bumerang di tengah-tengah masyarakat. Jadi sebelum di-sharing, informasi tersebut harus disaring terlebih dahulu kebenarannya. “Kita mutlak perlu tahu bagaimana cara menyaring berita itu, kebenarannya seperti apa dan aktualitasnya seperti apa,” tutup Wayan Ariasa.
Di akhir acara Bupati Tabanan Dr Komang Sanjaya menyambut positif dan memberikan apresiasi kegiatan workshop ini. “Di Tabanan ini banyak orang pintar. Guru Besar dan Profesor banyak berasal dari Tabanan. Dengan literasi digital ini saya yakin anak-anak ini cerdas dalam memahami. Saya berharap nantinya bisa memanfaatkan ilmu yang diperoleh untuk membuat konten dan informasi yang menarik, mengangkat sisi baik dari program pembangunan menuju Tabanan Era Baru,” tandas Sanjaya.