Tampak ACH mengenakan udeng putih dan senteng poleng ketika menjalani proses deportasi pada Kamis (18/7/2024).
BADUNG – Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar, belum lama ini telah mendeportasi seorang Warga Negara Asing (WNA) pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dia adalah pria asal Australia berinisial ACH, yang saat menjalani deportasinya tampak mengenakan udeng putih dan senteng poleng.
Kepala Rudenim Denpasar, Gede Dudy Duwita menuturkan, ACH adalah pria kelahiran Oxford tahun 1973. Dia terakhir kali datang ke Indonesia pada 17 Februari 2024 melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali dengan menggunakan Visa on Arrival (VoA).
ACH menjelaskan, penahanannya bermula dari kasus KDRT yang terjadi sejak Juli 2023. Kekerasan dilakukannya terhadap istrinya yang merupakan perempuan Warga Negara Indonesia (WNI).
60 hari ditahan di Polresta Denpasar, ACH kemudian dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kerobokan. Di sana dia menjalani masa hukuman selama 4 bulan 20 hari, berdasarkan Surat Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 351/Pid.Sus/2024/PN Dps tertanggal 4 Juli 2024.
Singkat cerita, begitu dinyatakan bebas, ACH kemudian menjalani proses lebih lanjut di Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas I Khusus Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Ngurah Rai pada 9 Juli 2024 lalu. Hal tersebut lantaran dirinya telah terbukti melanggar Pasal 75 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yaitu melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum, serta tidak menghormati atau menaati peraturan perundang-undangan. “Kepada ACH, dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK) berupa pendeportasian,” sebut Dudy.
Namun karena pendeportasian belum dapat dilakukan dengan segera, maka ACH diserahkan ke pihak Rudenim Denpasar. Kurang lebih selama 7 hari didetensi, pada tanggal 18 Juli 2024 ACH akhirnya diberangkatkan menuju Perth, Australia. Selain deportasi, dia juga diusulkan masuk dalam daftar penangkalan Direktorat Jenderal Imigrasi.
“Sesuai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Namun demikian keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya,” tutup Dudy. (adi,dha)