BULELENG – Sebuah mimpi bukanlah hal yang ditemui saat sedang tidur saja, namun hal ini dapat diwujudkan apabila berani melangkah lebih jauh dari batas kemampuan yang dimiliki. Inovasi dan kreativitas yang dilengkapi dengan media serta pelatihan yang tepat dapat menyangkal segala kemungkinan sulit sekalipun.
Untuk mewujudkan mimpi tersebut, lima mahasiswa dari Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, yakni I Dewa Ayu Dewi Candrika Laksmi, Komang Sintya Pratiwi, Ni Kadek Dian Purnama Yanti, I Made Aditya Priandana, dan Ni Kadek Lia Samandani mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada bidang pengabdian masyarakat.
Mereka menjadikan difabel sebagai objek pengabdian. Mereka mengajak orang dengan kebutuhan khusus untuk berkolaborasi dalam kreativitas seni di sanggar Seni Widya Prabha, Jimbaran, Badung, Bali.
“Kami memilih penyandang tunarungu dan tunanetra sebagai mitra kami karena adanya permasalahan yang dimiliki penyandang tunarungu dan tunanetra, seperti kurangnya eksplorasi seni pada penyandang tunarungu akibat keterbatasan pada pendengaran, serta kurangnya perkembangan motorik kasar penyandang tunanetra karena keterbatasan penglihatan yang menyebabkan berkurangnya aktivitas gerak yang dilakukan. Permasalahan karena pihak sanggar belum menemukan media serta metode yang tepat,” ujar ketua kelompok I Dewa Ayu Dewi Candrika Laksmi.
Bersama dosen pendamping, Drs. I Wayan Sujana S.Pd., M.Pd. pihaknya bersama pihak sanggar sepakat dalam menangani permasalahan tersebut dengan memberikan pelatihan gerak tari kreasi dengan iringan irama yang dihasilkan dari pola nada permainan Deduplak yang dibantu dengan teknologi audio digital.
Diawali dengan membuat media yang sesuai dengan kebutuhan penyandang tunarungu dan tunanetra. Adapun media yang kami gunakan yaitu Deduplak dan tari kreasi. “Deduplak merupakan permainan tradisional yang berasal dari provinsi Bali, permainan ini menggunakan alat berupa alas kaki yang terbuat dari tempurung kelapa dan memiliki karakteristik bunyi yang khas sehingga menghasilkan bunyi yang unik dan memiliki nilai sosio-kultural,” jelasnya.
Sementara mereka juga menciptakan Tari Kreasi, yang diberi nama Angga Pradesha. Sebagai media bagi penyandang tunanetra agar mereka dapat menari dengan gerakan tari yang lebih sederhana.
Angga Pradesha diartikan sebagai gerakan tubuh yang indah dan ekspresif, meskipun penari tidak dapat melihat namun tetap mampu mengembangkan motorik kasarnya. Tahap pelatihan dengan metode SiGuna yaitu Kolaborasi Tunarungu dan Tunanetra. Kegiatan ini didukung Peraturan Gubernur yaitu Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020, tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. “Sehingga keterbatasan penyandang tunarungu dan tunanetra tidak menjadi halangan untuk turut serta dalam kegiatan kesenian, sehingga menjadi generasi yang mampu melestarikan kebudayaan Bali,” ujarnya.
Hasil akhir dari program ini yaitu pementasan seni yang akan ditonton oleh pengamat seni, dosen, dan masyarakat umum serta dipublikasikan melalui youtube dan media sosial lainnya. Melalui kolaborasi ini diharapkan penyandang tunarungu dan tunanetra memiliki semangat dalam mengeksplorasi seni, bekerja sama dalam melestarikan budaya, serta dapat membuka pandangan masyarakat umum mengenai pentingnya pelestarian seni dan semangat untuk turut ikut melestarikan budaya.
“Dibalik keterbatasan pendengaran dan penglihatan, terpancar tarian penuh semangat, deduplak mengiringi langkah kaki, melangkah menuju mimpi yang tak terbatas,” pungkas Mahasiswa Undiksha tersebut. (jay*)