Barong Landung merupakan wujud akulturasi budaya Bali dan Tiongkok. Budaya ini lahir dari kisah asmara Raja Sri Jaya Pangus dengan Kang Cing Wie
KLUNGKUNG – Pertunjukan fragmen tari Lawang Balingkang meramaikan Festival Semarapura ke-6, memukau penonton yang memadati panggung Monumen Ida Dewa Agung Jambe, Minggu (28/4/2024). Tidak terkecuali Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno ikut larut menyaksikan.
Lawang Balingkang menghadirkan kisah Kerajaan Bali kuno yang pernah mengalami masa kejayaan saat tahta dipegang oleh Sri Aji Jaya Pangus sebagai raja yang keratonnya terletak di Panarajon.
Fragmen tari ini menceritakan kisah asmara Sri Aji Jaya Pangus dengan Kang Cing Wie yang merupakan putri dari Babah Subandar, saudagar dari negeri China.
Baca juga :Bebek Betutu Jadi Royal Dinner Saat Festival Semarapura 2024
Saat tahta dipegang oleh Sri Aji Jaya Pangus, Karena begitu tentram dan sejahteranya kehidupan rakyat di Panarajon, maka berbondong-bondonglah para pedagang dan saudagar dari negeri Tiongkok ikut datang dan berjualan di Pasar Kintamani.
Selain membawa dagangan kelontong, para pedagang Tiongkok juga membawa seni budayanya yaitu barongsai, barong naga serta alat pembayaran berupa uang kepeng. Salah satu dari para saudagar yang datang bernama babah Subandar yang ikut berdagang dengan membawa serta putrinya yang sangat cantik bernama Kang Cing Wie.
Pada suatu hari raja Sri Aji Jaya Pangus pergi melihat-lihat keadaan pasar diiringi oleh para petinggi keraton. Betapa kaget dan terkesimanya Sri Aji Jaya Pangus saat melihat kecantikan putri babah Subandar tersebut.
Baca juga : Menteri Sandiaga Salahuddin Uno Bakal Disuguhkan Makanan Khas Raja Klungkung Saat Festival Semarapura
Ada perasaan yang kuat raja Sri Aji Jaya Pangus ingin mengawini Kang Cing Wie. Maka agar selalu dapat melihat paras cantik Kang Cing Wie,Jaya Pangus meminta kepada babah Subandar agar mengijinkan putrinya diajak di keraton sebagai pelayan Mpu Siwa Gandu yang menjadi penasehat raja.
Dengan imbalan bahwa babah Subandar akan diberikan tempat dan lahan luas untuk berjualan bagi para pedagang Tiongkok. Akhirnya setelah Kang Cing Wie ikut dalam kehidupan keraton, ada keinginan kuat Sri Aji Jaya Pangus untuk mengawini Kang Cing Wie. Keinginannya ini disampaikan kepada penasehatnya Mpu Siwa Gandu.
Akan tetapi Mpu Siwa Gandu melarang keras, bahwa hal ini tidak mungkin dilakukan, karena raja sudah memiliki permaisuri bernama Dewi Danu. Lagi pula jika perkawinan ini dipaksakan, akan membawa bencana besar bagi keraton di Panarajon. Rasa cinta mengalahkan segalanya yang menyebabkan raja Sri Aji Jaya Pangus mengabaikan nasehat Mpu Siwa Gandu dan tetap akan mengawini Kang Cing Wie.
Baca juga : Dalam Satu Setengah Bulan, Polres Klungkung Ungkap 5 kasus Narkoba 7 Tersangka
Upacara perkawinan pun dilangsungkan, dan saat itu Mpu Siwa Gandu memilih untuk pergi meninggalkan keraton, karena nasehatnya tidak dihargai. Seiring berjalannya waktu, muncullah hujan badai selama satu bulan tujuh hari yang meluluh lantakkan keraton Panarajon. Yang akhirnya membuat seisi keraton pergi meninggalkan Panarajon dan mendirikan keraton baru bernama Balingkang.
“Nama Balingkang diambil dari dua sumber yaitu bumi Bali dan “Kang” diambil dari nama Kang Cing Wie dimana saat itu sudah menjadi istri raja Sri Jaya Pangus,” tandas penggagas cerita Dewa Alit Saputra yang juga pembina Sanggar Tari Kayonan, Minggu (28/4/2024).
Dalam perjalanan kisah asmara Sri Aji Jaya Pangus dengan Kang Cing Wie berakhir tragis,setelah keduanya kena kutuk dari Dewi Danu. Keduanya dikutuk menjadi pralingga berupa barong landung.
Barong landung sampai saat ini masih lestari bahkan di beberapa desa adat, Barong Landung menjadi sesuhunan (dikeramatkan) warga. Dari perjalanan panjang kisah inilah kemudian terjadi akulturasi budaya antara Bali dan Tiongkok. (yan)