SULAWESI TENGAH -Ditahun 1972, pada era pemerintahan Presiden Soeharto memiliki program yang sangat dikenal, program transmigrasi. Program ini bertujuan untuk penyebaran penduduk dan penyebaran tenaga kerja.
Disamping itu, sebagai sarana dan pembukaan pengembangan wilayah produksi serta pertanian dalam pembangunan daerah. Transmigrasi dijadikan program prioritas pembangunan jangka panjang Indonesia di era presiden Soeharto yang diharapkan program ini dapat meningkatkan taraf hidup para transmigran dan masyarakat di wilayah setempat dengan memberikan lahan pertanian dan lahan yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal.
Dalam pemberangkatan para transmigran saat itu ada dua program yakni transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa. Program swakarsa (spontan) pemberangkatan transmigran ini dibiaya sendiri oleh transmigran tanpa dibiayai oleh pemerintah seperti program transmigrasi umum yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah.
“Ditahun 1972, kakek dan nenek saya ikut program transmigrasi swakarsa (spontan) dengan biaya sendiri dari Kerobokan, Badung Bali menuju daerah transmigrasi di Sulawesi, sekarang dikenal dengan desa Balinggi, Kecamatan Balinggi Jati, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah Palu,”ujar Made Sudika salah seorang petani/pekebun (cucu tramsigran 1972) di Subak Cakrosari, Balinggi Jati pekan lalu.
Mengawali ceritanya, pria kelahiran 19 September 1983 ini ikut merasakan pahit getirnya sebagai cucu transmigran dan semua itu sudah terlewati dan saat ini bisa menikmati kerja keras yang telah dilakukan leluhurnya bersama orang tuanya. Bagaimana tidak, ditahun 1972, konon ceritanya sang kakek bersama keluarga besarnya merabat hutan untuk dirubah menjadi lahan pertanian persawahan.
Menurutnya daerah persawahan saat ini, dulunya dikenal daerah yang berada didataran rendah dan banyak nyamuk. Tak heran, daerah ini lebih dikenal dengan sebutan desa Lebagu (daerah didataran rendah dan penuh nyamuk/legu). Namun, sekarang ini terlihat menjadi hamparan sawah seluas 128 hektar dibawah Subak Cakrosari.
Para transmigran yang menggarap sawah didaerah ini hampir sebagian besar berasal dari banjar Taman, Batu Belig, Semer Kerobokan, banjar Anyar, Canggu, Babakan dan Pererenan, Kabupaten Badung sehingga kerukunan transmigran sangat tinggi dan terlihat dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari baik di sawah maupun dalam kegiatan adat.
“Saya sendiri menggarap lahan sawah 1 hektar hasil pembagian orang tua yang diwariskan oleh kakek,”ujarnya.
Sebagai petani yang mengerjakan lahan sawah seluas 1 hektar selain ditanami padi, sekitar 18 are dijadikan kebun yang ditanami melon. Hasilnya lumayan besar bisa mencukupi untuk biaya sekolah anak-anak dan biaya kehidupan sehari-sehari.
Selain lahan milik sendiri juga sempat mengarap lahan milik orang lain dengan luas hampir 2 hektar, penggarapannya melalui sistem bagi hasil 2 berbanding 1, pengarap dapat 2 dan pemilik lahan 1 dari hasil panen.
Made Sudika yang juga dikenal Ajik Eka ini menjelaskan, jenis padi yang ditanam yakni jenis Cigelis, Cintanur/pandan wangi. Pertanian didaerah ini sudah sejak lama mempergunakan teknologi modern mulai menggarap lahan, menanam, memupuk sampai panen, semuanya serba teknologi.
Saat panen, petani hanya mengawasi lahannya dipanen dan semua gabah sudah langsung masuk dalam karung dan diatas truk.
Dalam hitungannya, kalau satu hektar sawah, sekali panen bisa menghasilkan 3 ton beras dengan harga saat ini di pabrik penggilingan Rp 10.000.000 per ton atau sekitar Rp 30 juta. Nilai tersebut belum termasuk biaya pemupukan dan ongkos kerja petani selama 4 bulan.
“Sistem teknologi pertanian, kita bisa panen 3 kali dalam setahun, kalau berhasil, hasilnya cukup lumayan,”ujarnya.
Sementara kalau penanaman buah melon dari 18 are, Made Sudika menambahkan, 18 are, biaya produksi yang dihabiskan bisa mencapai Rp 7 juta untuk sekali panen.
Sementara hasil panen dan penjualan buah melon dari luas 18 are bisa mencapai 8 ton dengan harga Rp 3.000 per kg atau Rp 24 juta sekali panen.
“Kalau menjadi petani ulet dan tekun pasti ada hasil dan kita harus mengakui transmigran asal Bali, semuanya ulet dan tekun hasilnyapun berbuah manis dan selalu menjadi kebanggaan pemerintah di Kabupaten Parimo,”pungkasnya. (arn/jon)