GiANYAR – Nama Sang maestro seni lukis almarhum I Dewa Nyoman Batuan begitu harum tidak saja Bali, tapi juga di kancah nasional hingga internasional. Ia dikenal dengan ragam karya yang unik, khas dan monumental.
Seniman asal Desa Pengosekan, Ubud, Kabupaten Gianyar itu memiliki branding tersendiri dengan lukisan khas berkonsep mandala.
Desak Putu Yogi Antari Tirta Yasa yang juga cucu dari seniman besar ini pun mempersembahkan karya spesial berupa buku biografi visual dan film dokumenter untuk sang maestro. Alasanyan cukup layak, karena I Dewa Nyoman Batuan begitu besar kontribusinya terhadap sisi budaya.
“Itulah alasan saya mempersembahkan dua karya, yakni Buku Biografi Visual dan Film Dokumenter I Dewa Nyoman Batuan. Saya berharap, dua karya ini bisa menginspirasi generai muda dalam berkarya,” kata Desak Yogi Antari di sela-sela pemutaran film documenter dan pembukaan pameran di Museum Arma Ubud, Kamis (24/8/2023) malam.
Bersamaan dengan momentum peluncuran buku biografi visual dan pemuteran film dokumenter bertajuk “Kembali ke Asal”, dibuka pameran lukis yang menyajikan karya-karya I Dewa Nyoman Batuan.
Tercatat 19 karya lukis itu memajang karya I Dewa Nyoman Batuan dari tahun 1975 hingga karya sebelum meninggal tahun 2013.
“Lukisan itu, ada yang berjudul mandala aku kecil (cerita kecil) hingga cerita terakhir sebelum meninggal. Setiap lukisannya selalu ada tulisan pusisi-puisi deskripsi tentang cerita karya itu,” ujar Desak Yogi.
Desak Yogi menjelaskan, dalam tulisan yang ada dalam setiap karya itulah dijadikan cara untuk mengkurasi bersama teman-temannya. Selain sebagai pelukis I Dewa Nyoman Batuan juga seorang penulis, karena latar bekalangnya seorang guru, namun ditinggalkan dan memilih sebagai pedagang acung.
“Ketika proses membuat film dan buku, I Dewa Nyoman Batuan meninggalkan banyak catatan. Bahkan, ada buku tulis dan cetak secara independen, sehingga saya bersama teman-teman meneliti dengan membaca kembali semua tulisan itu, sehingga menemukan lukisan-lukisan ini yang sesungguhnya menceritakan hidupnya sendiri,” paparnya.
Lebih lanjut dikatakan, kedua karya ini bisa terwujud berkat dukungan dari Dana Abadi Kebudayaan biasa disebut Dana Indonesiana. Dana ini disediakan pemerintah untuk mendukung perkembangan, prestasi, dan menyalurkan ekspresi bagi para budayawan.
“Saya bersyukur sebagai salah satu pemenang dan penerima manfaat Dana Indonesiana tahun 2022 pada Program Dokumentasi Karya/Pengetahuan Maestro. Dalam hati saya berjanji, bila proposal saya lolos, maka bisa menghadirkan sesuatu untuk kakek saya, I Dewa Nyoman Batuan, di tahun 2023 ini yang merupakan 10 tahun peringatan kepergian Beliau,” tandasnya.
Produksi buku dan film dokumenter ini didukung keluarga besar I Dewa Nyoman Batuan, keluarga di Banjar Sigaran-Sedang, dan para narasumber, seperti Tjokorda Raka Kerthyasa, Mangku Made Gina dan Anak Agung Rai yang merupakan para sahabat I Dewa Nyoman Batuan, serta manajemen ARMA yang memungkinkan terselenggaranya acara ini.
Seniman Adi Siput menterjemahkan lukisan I Dewa Nyoman Batuan ke dalam tari kontemporer. Sementara Institut Seni Indonesia Denpasar telah mendukung saya dengan meminjamkan studio yang memungkinkan munculnya gambar-gambar estetik dalam film, serta Selonding Rasasvadana pada performance hari ini,” ujarnya.
Buku biografi itu memuat tentang profil I Dewa Nyoman Batuan, kisah perjalanan hidupnya dan utamanya konsep dari lukisannya serta foto-foto lukisannya. Kalau film merupakan dokumenter dari sudut pandang orang-orang terdekat dari I Dewa Nyoman Batuan menceritakan sosok Dewa Nyoman Batuan. Ada istrinya kerabatnya, dan orang-orang terdekatanya yang bercerita tentang Dewa Nyoman Batuan.
Desa Yogi menjelaskan, pemilihan maestro I Dewa Nyoman Batuan ini karena beliau sudah mendapat penghargaan termasuk Penghargaan Wijaya Kusuma dari pemerintah. Karya-karyanya adalah seni lukis mandala yang selama ini tak banyak pelukis yang mengangkat mandala tersebut, sehingga patut dijadikan maestro.
“Pariwisata masuk, juga ada campur tangan I Dewa Nyoman Batuan bersama Anak Agung Rai (Arma), Mangku Made Gina yang berperan pada waktu kedatangan Ratu Elisabeth tahun 1974. Saat itu, Ratu Elisabeth berkunjung ke rumah Mangku Made Gina, setelah itu Pengosekan bumming. Jadi lukisan Pengosekan banyak dibeli,” akunya polos.
Lukisan I Dewa Nyoman Batuan masih ada ratusan lebih di rumahnya. Lukisan itu masih ada, karena keluarga tidak berniat untuk menjual, namun menyimpan di gallery sendiri. Selain itu, lukisannya banyak ada di museum-museum di Bali, dan beberapa dibeli oleh kolektor dan beberapa diberikan secara Cuma-Cuma kepada koleganya.
“Proses pembuatan buku dan film ini sekitar satu tahun lamanya. Saya melaukan mulai dari riset dari teks yang ada, dan wawancara di kumpulkan lalu diolah lagi sampai kemudian bisa menemukan yang tema yang diangkat,” pungkasnya senang. (sur)