DENPASAR – Gong Kebyar Duta Kabupaten Karangasem menjadi pamungkas untuk kategori Utsawa (Parade) Gong Kebyar kabupaten/kota se-Bali di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV Tahun 2023.
Penampilan tiga sekaa gong kebyar asal Gumi Lahar tersebut disaksikan langsung oleh ribuan penonton yang tumpah ruah memenuhi tribun Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali (Art Center), Jumat (14/7/2023) malam.
Tiga sekaa gong kebyar Karangasem yang tampil mebarung dalam satu panggung yakni Gong Kebyar Dewasa (GKD) diwakili oleh Sekaa Gong Wredhi Windu Suara Santi, Banjar Dinas Santi, Desa Selat, Kecamatan Selat, Gong Kebyar Wanita (GKW) diwakili oleh Sekaa Gong Kebyar Wanita Kriya Sandhi, Banjar Dinas Saren Kauh, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, dan Gong Kebyar Anak-anak (GKA) diwakili oleh Sekaa Gong Anak-anak Rare Kumara, Banjar Baler Pasar, Desa Rendang, Kecamatan Rendang.
Penampilan mereka turut disaksikan oleh Gubernur Bali Wayan Koster, Bupati Karangasem I Gede Dana, Wakil Bupati Karangasem I Wayan Artha Dipa, Kadis Kebudayaan Bali Prof I Gede Arya Sugiartha, Budayawan Prof I Made Bandem, pejabat lainnya, serta para pendukung masing-masing, dan para penikmat seni yang memenuhi tribun penonton. Ketiganya membawakan garapan masing-masing, serta satu karya kolaborasi di mana ketiganya saling bersatu pada garapan terakhir.
Sekaa Gong Wredhi Windu Suara Santi yang baru pertama kali tampil di PKB membawakan dua karya yakni tabuh kreasi pepanggulan “Ambek Ing Ombak” dan tari kreasi “Cahyaning Cukli”. Tabuh kreasi “Ambek Ing Ombak” menurut sang komposer, I Wayan Suardana, teinspirasi dari karakter dan energi ombak yang terkadang keras, lemah, maupun tenang.
Sedangkan tari kreasi “Cahyaning Cukli” karya komposer I Putu Angga Wijaya dan koreografer I Gede Gusman Adhi Gunawan menggambarkan kemilau cahaya cukli menebar gemerlap di luasnya samudera.
Suardana maupun Angga Wijaya mengungkapkan, kesuksesan pertunjukan Sekaa Gong Wredhi Windu Suara Santi di atas panggung tak lepas dari upaya gigih para penabuh dalam memantapkan proses latihan. Karena diakui, cuaca di daerah Desa Selat yang cenderung sering hujan serta kebanyakan penabuh yang sibuk bekerja di perantauan menjadi dua kendala besar selama proses latihan.
“Desanya ini kan letaknya di bawah kaki Gunung Agung, cuacanya agak rawan hujan. Jadi ketika kita jadwalkan latihan, ternyata hujan lebat di sana. Sedangkan para penabuh juga kebanyakan kerja dan kuliah di Denpasar. Namun Astungkara, persiapan matang dengan beberapa kali pemantapan,” ujar Angga.
“Astungkara meski yerbenturnya waktu latihan jadi kendala utama, tapi dalam satu setengah bulan tabuhnya bisa dikuasai. Sedangkan untuk penghalusan atau pemantapan sekitar 1 bulan,” sambung Suardana sembari menyebut karya kreasinya tak lepas dari uger-uger lelambatan.
Sementara, Sekaa Gong Kebyar Wanita Kriya Sandhi membawakan Sandyagita berjudul “Ghurnitantara Samudra” dengan penata vokal Gus Pangsua dan penata musik Kayan Anton menceritakan alunan melodi mengalun dan bergema di samudra tanpa henti, seperti hamparan angin, dentuman ombak, dan suara burung laut. Dilanjutkan dengan tari kreasi berjudul “Matasikan” karya penata tari Ni Made Kinten dan Ni Komang Wiwin Sari Putri serta penata tabuh Made Alit Swadiaya bercerita tentang pembuatan garam tradisional sebagai kegiatan utama masyarakat pesisir Desa Amed, Karangasem.
Koordinator sekaligus Sanggar Seni Kriya Sandhi, Made Alit Swadiaya mengungkapkan, pihaknya berupaya maksimal dengan persiapan hampir lima bulan. Meski kendalanya hampir semua penabuh merupakan pelajar, sehingga harus menyesuaikan jadwal latihan.
“Sebanyak 80 persen penabuhnya anak sekolah sehingga kami latihan sore. Itu juga kalau tidak ada kegiatan-kegiatan adat dan keagaaman. Tapi mereka sebenarnya sudah punya basic yang dilatih di sanggar, sehingga penampilan malam ini menurut saya sudah sangat maksimal,” katanya.
Sedangkan Sekaa Gong Anak-anak Rare Kumara membawakan tabuh kreasi “Jalatarangga” karya komposer I Wayan Gede Rikiana Adi Putra yang menggambarkan semangat berdebur bagaikan gelombang samudra dan gelombang kesadaran akan terjaganya laut. Sementara, hentakan demi hentakan memberikan pertanda tangisan sang tira yang tergulung ketidakpedulian manusia.
“Sebenarnya di sini saya ingin menyampaikan edukasi ke masyarakat untuk menjaga kesucian laut,” jelasnya.
Untuk dolanan, Rikiana juga menciptakan karya berjudul “Maomang-omangan” yang terinspirasi dari omang-omang yakni binatang kecil yang hidupnya di laut, di mana sebagian besar anak-anak Kabupaten Karangasem menyukai binatang tersebut.
“Personil tabuh ini ada yang masih pemula, ada juga yang sudah punya basic. Sehingga kami ajarkan dari yang sederhana, hingga proses penghalusan dan pemberian rasa,” tutur Rikiana.
Karya terakhir merupakan karya kolaborasi di mana ketiga sekaa gong kebyar bersatu menyajikan satu garapan instrumental dan tari berjudul “Segara Lango” karya koreografer I Gede Gusman Adhi Gunawan dan komposer Kadek Shaolin yang menggambarkan keagungan dan keindahan laut yang diciptakan Tuhan untuk keseimbangan dunia. Menurut Kadek Shaolin, proses latihan untuk karya kolaborasi ini cukup terkendala jarak, karena lokasinya jauh-jauh. Namun disepakati dilakukan latihan bersama di dua tempat.
“Proses latihannya jujur saja posisinya agak jauh-jauh. Tapi dengan semangat pemerintah daerah dan koordinator masing-masing sekaa, persiapan menjadi sangat matang. Saat pembinaan dari provinsi, kita sepakati latihan gabungan di saren. Kemudian pembinaan kedua, kita latihan gabungan di Besakih, difasilitasi oleh Badan Pengelola Pura Besakih,” terangnya.
Namun sebelum latihan gabungan, kata Shaolin, terlebih dahulu masing-masing sekaa latihan terpisah.
“Awalnya pisah-pisah latihan. Karya ini saya penggal-penggal terlebih dahulu. Total garapan berdurasi 15 menit. Awalnya masing masing sekaa punya limit yang sama, seperti saling bersahutan. Kemudian endingnya baru menabuh dan menari bersama selama dua menit,” pungkasnya. (sur)