DENPASAR – Suasana Utsawa (parade) palegongan klasik khas dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV mirip sebuah pertandingan atau lomba.
Parade palegongan klasik mempertemukan dua duta kesenian yaitu sekaa palegongan Karang Taruna Kori Bhuwana Parahyangan, Desa Melinggih Kelod, Kecamatan Payangan, sebagai Duta Kabupaten Gianyar dan palegongan khas dari Duta Kabupaten Badung yang dipercayakan kepada Sanggar Seni Rajapala, Banjar Taman, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara.
Kedua duta ini tampil bersama di Panggung Terbuka Nertya Mandala ISI Denpasar, Jumat (23/6/2023) malam. Penonton yang mendukung masing-masing kabupaten begitu fanatik, sehingga memberikan apresiasi berlebihan kepada para dutanya.
Mereka tak hanya cukup memberikan tepuk tangan, tetapi juga memberik yel-yel, dan terkadang sindiran yang dapat mematahkan semangat lawan. Namun, banyak pula yang memberikan apresiai terkait dengan penyajiannnya yang klasik, khas dan mempertahankan pakem palegongan. Masing-masing menyajikan Tari Legong Kuntir, tari legong kreasi dan dua tabuh petegak secara bergantian.
Duta Kabupaten Gianyar mengawali penampilannya dengan Tabuh Kreasi Palegongan “Corokuto”. Corokuto, sebuah karya Tabuh Palegongan yang ditata oleh I Wayan Sudiarsa, S.Sn.,M.Sn sebagai cara dalam mengintepretasikan keagungan gunung dan laut. Kemudian, tabuh palegongan yang digali dari tabuh klasik karya almarhum I Wayan Lotring berjudul Genggongan.
Menurut I Wayan Sudiarsa atau akrab disapa Pacet suguhan palegongan klasik yang dibawakan Gianyar sejatinya prosesnya diawali sebuah ‘research’.
“Kita ingin merekontruksi tabuh -tabuh klasik, yang belum banyak diketahui secara umum. Contohnya gending genggongan, saya baca di artikel, gending ini diciptakan tahun 1926, oleh alm I Wayan Lotring bersama Sekaa Palegongan Kuta, ada rekaman yang kita temukan, mungkin saja rekaman ini dilakukan pada tahun 1926-1930. Kita mendapat rekaman ini di Universitas Calivornia LA, Amerika, kita mencoba merekontruksi dan meremajakan kembali tanpa mengurangi makna,” jelasnya.
Pacet menambahkan, tabuh itu durasinya sedikit, jadi sebagai bentuk garapan utuh pihaknya memadukan tabuh yang berjudul Gonteng Jawa. Tabuh Palegongan di akhir menggunakan tabuh klasik gonteng jawa. Awal tabuh hingga pertengahan menggunakan tabuh gengongan.
“Sementara , tabuh kreasi Coro Kuto, yang saya buat, berorientasi pada garapan klasik karya Pak Lotring, saya membuat tabuh itu mengadaptasi tabuh klasik, membuat komposisi baru atau warna kesan lagunya klasik. Kenapa Coro Kuto, kita mengadopsi karya Kak Lotring, dimana Kak Lotring melakukan kreativitastya bersama Sekaa Pelegongan Kuta, di daerah Kuta karena beliau dari Kuta, jadi Coro Kuto ya cara Kuta atau seperti Kuta. Konsep musikalnya, meneraptkan konsep keagungan gunung dan Kesucian laut atau pantai. Secara Bahasa Kawi Kuta dimaksudkan sebagai keanggungan atau gelungan,” tandasnya.
Sedangkan Duta Kabupaten Badung mengawali dengan “Demung Apak Apak” sebuah garapan tabuh palegongan yang merupakan salah satu karya dari maestro Palegongan di Badung.
Istilah Demung juga ada pada Pupuh atau Kidung yang memiliki unsur wawiletan atau irama. Apak-apak atau Ngapak-apak juga diartikan ngadug-adug, dalam garapan ini diartikan bebas tak terbatas.
Tabuh Instrumental ini dengan pola melodi, pola ritme serta transisi gending bapang dan gegaboran, sehingga menjadi jalinan nada yang harmonis. Tabuh ini disajikan lewat barungan Gambelan Semar Pagulingan, namun tetap mengedepankan nuansa palegongan dibina oleh I Made Murna, SSKar.
Selanjutnya menampilkan Tari Legong Kuntir yang mengisahkan pertarungan antara dua kera bersaudara Subali dan Sugriwa memperebutkan Dewi Tara dalam kisah Ramayana. Kuntir – mengisahkan pertarungan dua kakak-beradik memperebutkan seorang perempuan jelita. Kemudian menyajikan Tari Kreasi Legong “Ngangkid”, merupakan prosesi nebusin yang bertujuan memanggil, menjemput Sang Hyang Atma yang mantuk pewayangan (bereinkarnasi), yang biasanya dilakukan pada saat anak upacara nigang sasih. Tari ini ditata oleh Yati Darayani, S.Sn dan penata tabuh I Wayan Muliyadi, S.Sn.,M.Sn.
Penyajiannya yang terkahir, adalah “Dahayu” sebuah instrumentalia yang mengisahkan keindahan panorama pantai. Pantai yang mempesona, bagai wanita cantik nan elok dan lemah gemulai.
Dahayu merupakan ungkapan rasa cinta kasih dan sayang pengkarya kepada Segara sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan semesta. Tabuh ini ditata oleh I Wayan Muliyadi, S.Sn.,M.Sn. (sur)