BICARA mengenai pengajuan kredit, tentu tidak akan terlepas dari sesuatu yang disebut dengan jaminan. Jaminan yang dipersyaratkan di lembaga keuangan lazimnya bersifat kebendaan (materiil).
Benda yang dimaksud, mudahnya dibagi menjadi 2 kategori ; benda tetap dan benda bergerak. Benda tetap berupa tanah atau rumah, sedangkan benda bergerak umumnya berupa kendaraan bermotor.
Namun, ada yang unik dari pengenaan jaminan di salah satu lembaga keuangan dengan sistem komunal yang diatur berdasarkan hukum adat LPD di Bali, yakni LPD Desa Adat Kedonganan.
LPD yang terletak di Kabupaten Badung ini berinovasi dengan memberikan opsi tambahan berupa jaminan immateriil (non-benda). Jaminan immateriil dalam perjanjian kredit di LPD Desa Adat Kedonganan memiliki 2 kategori. Pertama, krama wanprestasi dapat melaksanakan ngayah. Kedua, ahli waris maju sebagai pelunas hutang.
Hukum adat Bali mengenal pemberian jaminan berupa penggantian tenaga atau jasa apabila tidak sanggup membayar. Penggantian jasa tersebut disebut dengan ngayah. Melakukan ngayah tertuang dalam Bab Satu Bagian 57 Naskah Artasastra mengenai Transaksi Yang Sah dan Tidak Sah :“Atau ia boleh mengganti kerugiannya dengan bekerja, yang dijaga oleh jimat penghancur roh jahat, kecuali seorang Brahmana”.
Makna dari “dijaga oleh penghancur roh jahat” adalah meskipun dilakukan sebagai bentuk penggantian ganti rugi (jaminan). Pelaksanaan ngayah harus dijaga dari pikiran-pikiran negatif yang menyebabkan keterpaksaan dalam menjalani kewajiban.
Ngayah harus dilakukan dengan tulus ikhlas. Kata ngayah sendiri menurut I Gusti Ketut Anom dalam bukunya berjudul “Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali ” secara harfiah dapat diartikan sebagai “melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah”.
Oleh sebab itu pula, apabila seseorang yang menyebabkan kerugian di LPD Desa Adat tidak sanggup mengembalikan dengan uang (artha), maka ia atau ahli warisnya wajib menjadi pengayah.
Posisi pengayah yang digantikan oleh ahli waris dalam agama Hindu diatur dalam Arthasastra Bab 11 Bagian Hutang yang berbunyi: “Tetapi para putera, cucu laki atau pewaris yang mewarisi hak milik (berkewajiban) membayar (hutang tentang pembayaran kembali) yang tempat dan waktunya tidak ditentukan”.
Salah satu cara ngayah yang dapat dilakukan adalah dengan bekerja di LPD Kedonganan atau Desa Adat Kedonganan sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Kemudian, gaji yang diperoleh setiap bulan, sebagian atau sepenuhnya akan diberikan untuk membayar sisa hutang di LPD Kedonganan.
Perjanjian kredit LPD Kedonganan menggunakan jaminan immateriil dengan ahli waris sebagai pelunas hutang harus menunggu kesiapan ahli waris. Selama menunggu kesiapan ahli waris, maka hutang akan diberikan status hapus buku.
Hapus buku merupakan sebuah kebijakan yang dilakukan lembaga keuangan guna menyehatkan sistem kredit dengan memindahkan biaya-biaya yang bermasalah, sulit ditangani, bahkan macet dari necara lembaga keuangan tersebut menjadi ekstrakomtable sehingga tidak membebani kinerja lembaga keuangan itu. Tindakan hapus buku dilakukan karena tidak menghapus hak lembaga keuangan untuk melakukan penagihan pelunasan debitur.
Anak yang menjadi ahli waris dari krama wanprestasi akan diberikan beasiswa oleh LPD Desa Adat Kedonganan untuk melanjutkan sekolah dan/atau kuliah. Selepas menyelesaikan pendidikan dan memperoleh pekerjaan, barulah kredit hapus buku orang tuanya diaktifkan kembali.
Pada LPD Desa Adat Kedonganan, ketentuan seorang anak untuk menanggung hutang orang tuanya juga telah termuat dalam Pararem Panyahcah LPD Desa Adat Kedonganan Pasal 46 yang berbunyi: “Apabila krama Desa peminjam tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada LPD Kedonganan, maka kewajiban dimaksud harus ditanggung oleh ahli warisnya”.
Jika telah menjadi kesepakatan di desa adat pemilik LPD yang kemudian dituangkan dalam Pararem LPD Desa Adat-nya, ketentuan ini dapat menjadi solusi yang lebih baik bagi masyarakat desa adat selaku pemilik LPD, jika terdapat kasus wanprestasi, dimana barang jaminan turun nilainya.
Alih-alih menekan nasabah yang sudah tidak memiliki kemampuan membayar dengan menuntut pengembalian kredit secara massif, yang rentan menimbulkan sengketa berkepanjangan, penggantian dengan konsep ngayah justru mampu memberikan kedamaian untuk seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) LPD secara sekala niskala. (*)
Penulis : Dr. Ni Made Devi Jayanthi, S.H.,M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa