BULELENG – Krama Desa Adat Sudaji bersama krama subak menggelar Senin (22/7) malam menggelar ritual upacara ‘Ngusabha Pekakak’.
Selain ungkapan rasa syukur atas karunia yang telah diberikan, tradisi tahunan yang wajib dan telah dilaksanakan sejak tahun 1959 silam ini juga diharapkan dapat menghindarkan usaha pertanian dari kegagalan.
“Dulu pernah tidak dilakukan acara Pekakak ini, dan mengakibatkan hasil pertanian di desa kami mengalami penurunan hingga gagal panen,” ungkap Jro Made Darsana disela-sela upacara yang diikuti ribuan krama dengan suka cita di pelataran Pura Bale Agung Desa Sudaji.
Didampingi Prebekel Desa Sudaji Kadek Agus Fajar Kuriniawan dan Gede Suharsana selaku Ketua Pokdarwis Sudaji, Jro Darsana memaparkan sarana upacara Pekakak ini adalah 2 ekor celeng (babi) dengan ukuran berbeda dan diikat pada bambu.
“Babi yang berukuran lebih besar disebut Pekakak Ageng (besar), sedangkan yang lebih kecil dinamakan Pekakak Alit (kecil). Kedua pekakak ini kemudian diarak dari Pura Desa Bale Agung Desa Sudaji menuju Pura Mas Pait Bedugul subak dukuh gede, tempat persembahan Pekakak akan dilakukan,” jelasnya.
Arak-arakan Pekakak diiringi dengan gambelan dan daun kelapa kering yang dibakar menghadirkan suasana semarak.
Uniknya, kata Jro Darsana, pengusung Pekakak Ageng dan Alit mengenakan tanda pengenal yang berbeda.
“Mereka yang mengusung Pekakak Ageng dengan berat 100 kilo lebih memakai ikat berwarna hijau di leher, melambangkan dewi kesuburan, sementara pembawa Pekakak Alit dengan berat 90 kilo mengenakan ikat berwarna merah, simbol dewa Brahma,” terangnya.
Tradisi Ngusabha Pekakak tidak hanya menjadi bentuk rasa syukur, tetapi juga sebagai momen untuk mempererat tali persaudaraan antar warga desa.
“Seluruh warga bahu membahu mempersiapkan dan melaksanakan upacara ini. Warga bergotong royong mempersiapkan segala keperluan upacara, tradisi yang sangat penting bagi kami, dan kami bersyukur dapat terus melestarikannya hingga saat ini,” pungkasnya. (kar/jon).