MANGUPURA- Rapat kerja Pansus DPRD Kabupaten Badung yang membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) tampil beda. Rapat pembahasan lanjutan yang dipimpin Ketua DPRD Kabupaten Badung Putu Parwata, Rabu (11/10/2023) menghadirkan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kakanwil DJP Bali Nurbaeti Munawaroh.
Ketua DPRD Kabupaten Badung Putu Parwata didampingi Ketua Pansus I Nyoman Graha Wicaksana dan juga dihadiri Wakil Ketua Pansus I Made Suryananda Pramana beserta anggota pansus di antaranya adalah I Wayan Sugita Putra, I Wayan Sandra, I Nyoman Satria, I Made Yudana, dan Yayuk Agustin Lessy dan sejumlah pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait menyampaikan, Raker Pansus DPRD Kabupaten Badung melakukan pembahasan dan pengkajian mengenai Ranperda tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
“Kami betul-betul ingin menggali materi, karena hal ini menyangkut tentang kesejahteraan kita semuanya dan hajat hidup masyarakat serta kelangsungan dari pemerintahan,” terangnya.
Menurutnya, pihaknya harus sedikit berhati-hati membuat peraturan ini, yang melakukan komunikasi dengan Kakanwil Pajak Provinsi Bali dan beberapa narasumber yang lainnya, supaya hasilnya bisa lebih bagus lagi. Tak hanya itu, hasilnya dapat diimplementasikan secara kongkret dengan tidak membebankan masyarakat.
“Pada prinsipnya, peraturan ini dibuat untuk kebaikan kita semua, baik masyarakat maupun Pemerintah. Saya kira itu intinya,” terangnya.
Lebih jauh lagi, lanjutnya, pungutan pajak berbasis teknologi dan digital diterapkan sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 menyebutkan Pajak Penghasilan atau PPh itu ditetapkan 2,5 persen, untuk berkeadilan yang berpotensi meningkatkan lagi volume bertransaksi.
“Jadi, itu buat keringanan masyarakat. Kami yakin itu akan naik lagi, tidak ada lagi transaksi siluman dan tidak ada lagi namanya transaksi gantung. Jadi, itu clear semuanya dan coba kita lakukan,” ungkapnya.
Jika tidak mematuhi aturan pajak, lanjutnya akan dikenakan sanksi. Meski demikian, nilai keuntungannya akan terlihat dengan adanya penambahan nilai dan volume bertransaksi yang semakin banyak dibandingkan dengan transaksi tersembunyi yang menggantungkan nilai transaksinya. Hal tersebut dinilai akan meringankan masyarakat sekaligus menambah nilai volume transaksi yang lebih besar.
“Kita sudah buat UU yang bagus-bagus, tapi kalau tidak taat, kami tutup usahanya,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kakanwil DJP Bali Nurbaeti Munawaroh, menyebutkan PPh atau Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap penjual suatu objek. Namun, BPHTB itu bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dikenakan oleh pemerintah daerah kepada pembeli.
“Sebenarnya berbeda subjeknya. Pajak penghasilan, betul khan kalau yang jual dapat penghasilan dari jual rumahnya. Itu yang dipajaki, sifatnya final. Namun, BPHTB objeknya pajak daerah untuk pembeli, ketika dia memperoleh hak dari pengalihan tanah dan bangunan itu, karena dia beli. Jadi, bea atas pembelian suatu objek. Jadi, itu beda tidak dobel,” terangnya.(litt)