GIANYAR – Dosen Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menggelar pameran bersama di Agung Rai Museum of Art (ARMA), Ubud, Kabupaten Gianyar.
Pameran dengan tema “Ngerupa Guet Toya” itu dibuka Wakil Rektor Bidang Umum dan keuangan Dr. I Ketut Muka mewakil Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. Kun Adnyana, ditandai pengguntingan bunga, Selasa (6/9/2022) malam.
Hadir padar kesempatan itu pemilik ARMA, Agung Rai, para seniman, penggiat seni, dosen dan mahasiswa ISI Denpasar, serta beberapa tamu hotel.
Pameran hasil karya program P2S itu menyajikan 43 karya seni, terdiri dari 24 karya seni lukis, 5 karya seni rupa menggunakan bahan kayu berupa panil, 3 set karya seni gerabah dan 10 karya fotografi dengan berbagai ukuran. Pameran ini merupakan kerja sama antara ISI Denpasar dengan Agung Rai Museum of Art (ARMA).
“Kami sangat senang dan mengapresiasi pameran seni hasil penelitian ini. Tugas museum adalah memfasilitasi dan mengangkat, sehingga bisa dipertanggung jawabkan baik secara nasional maupun internasional,” kata Agung Rai.
Menurutnya, ini sebuah terobosan baru, dimana seniman sudah melirik pentingnya museum sebagai ruang untuk mengapreasi karya seni. Apalagi, Arma sudah menasional, bahkan lintas negara untuk menyaksikan karya-karya seni yang dipamerkan.
“Kami sebagai pemilik museum menjembatani para seniman yang memiliki karya untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas. Arma memiliki ruang pameran khusus, sehingga bisa diisi para seniman. Pameran ini akan memberikan suasana baru bagi publik, disamping menyaksikan pameran tetap di Arma,” ungkapnya.
Rektor Prof. Kun Adnyana dalam sambutan tertulis mengatakan, pameran hasil karya program P2S ini sangat memberi ruang bagi dosen untuk mendiseminasikan hasil penciptaan seninya.
Dengan adanya ruang diseminasi perupa ini diharapkan dapat memotivasi civitas akademika ISI Denpasar untuk terus melahirkan berbagai karya-karya hasil penciptaan dan pengkajian seni, agar terwujud salah satu cita- cita ISI Denpasar menjadi pusat unggulan (Center of Excellence) dalam bidang seni budaya.
Air sebagai salah satu entitas utama yang terdapat di muka bumi memiliki sifat-sifat yang unik dan penuh filosofis. Air juga merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Sumber-sumber air pasti menjadi pusat perkembangan peradaban. Tema air yang diangkat dalam pameran ini sangat relevan dengan isu-isu global yang berkembang belakangan ini, khususnya tentang pemanasan global.
Keberlangsungan (sustainability) dari air itu sendiri menentukan kualitas kehidupan yang ada di bumi nantinya.
“Artinya, sangat penting menyampaikan pesan-pesan kebudayaan tentang air kepada dunia,” katanya.
Melalui pemahaman-pemahaman dan perhatian seniman terhadap air, kemudian diwujudkan melalui karya-karya seni diharapkan dapat membangkitkan kembali spirit tentang pemuliaan terhadap air sebagai entitas yang menjadi sumber kehidupan dan disakralkan.
“Kami berharap pameran ini dapat menjadi pemantik lahirnya ide-ide untuk kegiatan-kegiatan berikutnya. Ini tentu menjadi kerjasama yang berkelanjutan antara ISI Denpasar dengan Arma,” harapnya.
Sementara, Wakil Rektor Ketut Muka menambahkan, pameran ini sebagai pembuktian bahwa karya-karya seni penciptaan ISI Denpasar sudah masuk museum. Apalagi, kegiatan ini dimotifasi pemilik museum Arma, sehingga para dosen bisa menyajikan karya seni, disamping sebagai bentuk menlaksanakan Tri Dharma perguruan Tinggi.
Pameran para dosen ini diharapkan dapat menginspirasi para dosen lain, juga mahasiswa dalam berkarya. Kehadiran mahasiswa dalam kegiatan ini, akan dapat merangsang mereka untuk lebih kreatif baik dalam menggali ide dan menghasilakn karya seni.
“Ini pameran hasil karya dari program P2S, semoga saja nantinya kouta dan volumenya ditambah,” harapnya.
Setem selaku tim kurasi mengatakan, pesan dari karya-karya yang dipamerkan kali ini, sebagai ajakan memahami lingkungan untuk ”dibaca” dan dimanfaatkan. Alam adalah kesatuan organis yang tumbuh, berkembang dalam adabnya sendiri.
“Perilaku dan daya hidup dari sebuah ekosistim merupakan mutual yang saling memberi. Esensi dari karya-karya yang ditampilkan ini adalah, Bali tidak hanya cukup dijaga dengan Om Shanti, Shanti, Shanti, melainkan harus lebih jauh dari itu, yakni kita bersama mencari tafsir baru mengenai kaitan trihita karana dengan menggali kearifan lokal yang sesuai konteks zaman. Semua harus menjaga Bali, tidak saja orang Bali, tetapi juga para pendatang,”ungkap Wakil Rektor Ketut Muka.
Menurutnya, ketahanan dan pertahanan semesta sesungguhnya ada di tangan manusi, apakah mengambil posisi seperti seperti pandangan dunia Barat (ketika revolusi ilmiah mulai mengantikan pandangan organik tentang alam dengan metafor dunia sebagai sebuah mesin) atau pilihan kearifan lokal dalam memproteksi kesemena-menaan manusia terhadap alam. Ternyata proteksi, pemertahannan melalu ranah tradisi mampu mengerem ruang gerak manusia untuk mengekpoitasi sumber-sumber kehidupan vital manusia, seperti air, bumi, hutan, sungai, dan yang lainya.
Dengan ritual maka semesta dihormati dan dijaga. Namun ritual bukanlah ranah “ilmiah” atau logika akal, yang terkadang memberi lebel sebagai primitif. Ritualisasi dapat dilogikakakn dalam pemahaman bahwa di balik ritual itu dapat dipetikmakna bahwa manusia memilki orentasi dan kesadaran kolektif untuk keselamatan hidupnya dimasa mendatang dan untuk diwariskan bagi anak cucunya. Kesadaran teo-ekologis adaah penyelamatan dan penyeimbangan kosmis tanpa kekerasan terhadap semesta ini. (sur)