BULELENG – Sengketa tanah negara Eks Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No. 044/Desa Pancasari di Banjar Dinas Buyan Desa Pancasari Kecamatan Sukasada terus bergulir.
Ketidakhadiran PT. Sarana Buana Handara (PT. SBH) pada pertemuan mediasi yang difasilitasi Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Pertanahan (TF-PSP) Kabupaten Buleleng, langsung diklarifikasi Kuasa hukum PT SBH, Asep Jumarsa, S.H, M.H, C.L.A.
“Klien kami tidak mendapat undangan. Jika diundang, klien kami pasti hadir,” tandas Asep Jumarsa dalam pesan singkat, Selasa (24/12/2024).
Ia menegaskan, sebagai pemegang SHGB No. 044/Desa Pancasari, kliennya memiliki hak prioritas berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2021, untuk mengajukan permohonan.
“Setelah berakhir tahun 2012, status tanah tersebut memang telah kembali menjadi tanah negara, namun bekas pemegang HGB memiliki keistimewaan untuk mengajukan permohonan pengelolaan kembali. Pasal 37 PP No. 18 Tahun 2021 dengan jelas menyatakan bahwa bekas pemegang hak diberikan prioritas untuk mengajukan kembali permohonan atas tanah eks-HGB. Klien kami, PT Sarana Buana Handara, adalah bekas pemegang HGB No. 44 tahun 2003 yang memperoleh hak tersebut secara sah melalui proses jual beli,” terangnya.
Asep menambahkan, pihaknya juga memegang nota kesepahaman (MoU) antara pihak SBH dengan Kepala Desa Pancasari dan Bendesa Adat.
“Dalam MoU tersebut, disepakati bahwa jika SBH berhasil mendapatkan hak pengelolaan tanah kembali, mereka akan bekerja sama dengan Bumdes Pancagiri Kencana untuk mengelola tanah tersebut secara produktif dengan sistem bagi hasil. Klien kami tidak hanya mengajukan permohonan HGB semata, tetapi juga telah menjalin komunikasi dengan perangkat desa dan masyarakat setempat untuk memastikan manfaat ekonomi dari tanah tersebut dapat dirasakan oleh warga desa, terutama melalui Bumdes Pancagiri Kencana,” jelasnya.
Selaku kuasa hukum PT, SBH, pihaknya juga berkomitmen untuk menjalankan proses pengajuan HGB sesuai dengan aturan yang berlaku dan terbuka terhadap dialog.
“Kami selalu membuka pintu komunikasi dengan pihak-pihak yang keberatan, termasuk warga yang memanfaatkan tanah tersebut. Namun, klaim kepemilikan tanpa dasar hukum oleh beberapa warga tentu tidak dapat dibenarkan,” tukasnya.
Sebagai pemegang SHGB No. 044 dan Wajib Pajak, kata Asep, kliennya tetap membayar pajak atas lahan itu sebagai bentuk tanggung jawab dan itikad baik.
“Klien kami juga tidak pernah menghalangi warga untuk mengajukan permohonan serupa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, perlu diingat, prioritas pengelolaan tetap berada pada bekas pemegang hak, sebagaimana diatur dalam peraturan,” pungkasnya. (kar/jon)