
DENPASAR – Menjelang perubahan nama Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menjadi ISI Bali pada akhir Februari 2025 mendatang, sebanyak 5 guru besar kembali dikukuhkan kampus Seni tersebut, di Gedung Citta Kelangen, Kamis (20/2/2025).
Lima guru besar atau profesor anyar melalui sidang senat terbuka itu masing-masing Prof. Dr. Drs. Ketut Muka Pendet, M.Si. (guru besar dalam ranting ilmu/kepakaran Seni Kriya), Prof. Dr. Drs. Wayan Karja, MFA, (guru besar dalam ranting ilmu/kepakaran Seni Murni), Prof. Dr. Anak Agung Bagus Udayana, S.Sn., M.Si. (guru besar dalam ranting ilmu/kepakaran Desain Komunikasi Visual), Prof. Dr. Ni Ketut Dewi Yulianti, M.Hum.,M.Si. (guru besar dalam ranting ilmu/kepakaran Linguistik Kebudayaan) dan Prof. Dr. Hendra Santosa, SS.Kar., M.Hum.(guru besar dalam ranting ilmu/kepakaran Sejarah Seni Pertunjukan).
Bagi Prof. Muka Pendet, gelar profesor ini merupakan capaian jenjang akademik tertinggi yang sungguh berarti bagi pengembangan diri, khususnya di bidang seni, baik dalam penciptaan dan pengkajian.
“Capaian ini sebuah prestasi sekaligus prestise. Namun, ketika menyandang guru besar, tentu saya merasa berat dari sisi tanggung jawab. Setidaknya harus mampu menuangkan kebijakan sebagai dasar pengembangan seni, khususnya kesenian Bali, ” ujar putra seniman Jro Mangku Wayan Pendet asal Nyuh Kuning Ubud ini.
Dengan dikukuhkan menjadi guru besar, berarti tiga putra Jro Mangku Wayan Pendet telah bergelar profesor yakni Prof. Dr. Wayan Windia P., Prof. Dr. dr. Made Jawi dan Prof. Dr. Ketut Muka Pendet.
Bagi ISI Denpasar, kebetulan Perpres perubahan nama menjadi ISI Bali sudah turun dan akan diresmikan tanggal 27 atau 28 Februari 2025, tentu seluruh guru besar harus berkomitmen menjaga dan berbuat menjadikan kampus seni ini sebagai laboratorium, bahkan barometer seni Indonesia. Harapannya, ISI Bali selalu di depan, yang capaiannya sudah tertancap selama ini.
Dalam pengukuhan guru besarnya, Prof. Muka Pendet membawakan orasi ilmiah berjudul “Inovasi Kerajinan Batu Padas Masa Kini: Tantangan Kreatif dan Tegangan Pasar”.
Prof. Muka menyebutkan bahwa kerajinan batu padas Bali merupakan salah satu potensi seni yang berkembang dengan baik sampai sekarang. Bahkan belakangan ini menjadi pekerjaan pokok dilakoni anak-anak muda putus sekolah. Terjadinya perkembangan bentuk dan proses inovasi pada dasarnya dipicu oleh harus globalisasi memberikan peluang bagi masyarakat khususnya perajin muda kreatif untuk berkreativitas. Dalam konteks ini yang dimaksud masyarakat adalah pemilik modal atau pengusaha, masyarakat perajin dan masyarakat konsumen yang mengkonsumsi kerajinan batu padas, baik dari Bali, maupun dari luar Bali.
Berkembangnya inovasi kerajinan batu padas pada intinya mengarah pada pengembangan ide dan gagasan, bentuk, teknik produksi, motif desain, dan fungsi. Hasil rekayasa ide dan gagasan secara kreatif bersumber dari nilai warisan budaya Bali dikembangkan menjadi multifungsi dengan konsep penciptaan menuju kepentingan praktis.
Sebagai penyebab munculnya inovasi adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut daya kreativitas dan ekonomi. Faktor eksternal menyangkut perkembangan pariwisata, teknologi, dan pengaruh budaya modern. Di samping faktor tersebut juga peningkatan permintaan pasar lokal-global (dikonsumsi) peningkatan nilai harga jual (distribusi) dan mudahnya mendapatkan bahan baku (produksi).
Perkembangan inovasi juga mempengaruhi perubahan nilai-nilai estetik kerajinan batu padas, yang pada awalnya masih tradisional, komunal, monoton dan penuh fantasi akhirnya berubah ke estetika postmodern. Hal tersebut dicirikan dengan lahirnya bentuk- bentuk kerajinan batu padas dengan gaya pastiche (imitasi), kitsch (tempelan), dan parodi (lucu). Perubahan gaya estetika tradisional menjadi estetika postmodern tersebut dipengaruhi oleh proses produksi yang dilakukan oleh perajin muda kreatif berpendidikan formal. Sistem pendekatan komodifikasi serta mendekonstruksi kembali model kerajinan batu padas tradisional menjadi pola-pola atau model kerajinan batu padas bersifat kekinian dengan karakter postmodern untuk menjawab tantangan pasar global. (sur)