Pasien RSUD Klungkung antre dalam pengambilan obat. foto/dok
KLUNGKUNG – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Klungkung terancam mengalami kerugian Rp 1 miliar. Lho kok bisa ?
RSUD dihadapkan pada situasi dilema ketika pasien pemegang layanan jaminan kesehatan nasional datang dalam keadaan false emergency atau kondisi darurat yang ternyata tidak benar-benar mendesak dapat penanganan.
Di sisi lain,menolak pasien berpotensi melanggar etika medis. Selama ini RSUD Klungkung sering menerima pasien dalam keadaan false emergency, datang tanpa rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Kondisi pasien pun secara medis masih bisa ditangani di FKTP seperti puskesmas, praktek dokter swasta.
Direktur RSUD Klungkung dr I Nengah Winata mengungkapkan, dalam penerapan ketentuan jaminan kesehatan nasional di lapangan, kerap ada perbedaan pandangan antara petugas medis dan masyarakat.
Masyarakat yang panik, kerap datang ke IGD di RSUD Klungkung sebagai faskes lanjutan untuk mendapatkan layanan kesehatan. Meskipun pasien yang datang ke IGD RSUD Klungkung, tidak semua dalam kondisi emergency. Mau tidak mau petugas medis pun tetap melayani pasien dimaksud.
“Kalau aturannya, yang tidak emergency harus ditangani di faskes pertama (FKTP). Tapi di lapangan kan berbeda, sudut pandang pasien dengan dokter sering berbeda. Tim medis tidak boleh menolak pasien,” kata Winata, Selasa (3/12/2024).
Persoalannya kemudian adalah, pasien menyodorkan kartu jaminan sosial sebagai ganti pembayaran biaya pengobatan. Namun, pihak BPJS selaku penyelenggara jaminan kesehatan nasional belum tentu sepenuhnya membayar klaim pihak rumah sakit.
Winata mengatakan, selama ini BPJS hanya membayar klaim untuk pasien yang masuk kategori true emergency (benar-benar mengalami darurat). Diluar itu, pihak rumah sakit terpaksa harus menanggungnya. Jika dibebankan kepada pasien bisa memunculkan polemik di masyarakat.
“BPJS Kesehatan hanya membayar klaim untuk true emergency, sementara yang dianggap false emergency menjadi kerugian pihak rumah sakit,” ujar dr. I Nengah Winata.
Ia mengungkapkan estimasi RSUD Klungkung ada sebesar Rp 1 miliar biaya yang ditanggung pihak RSU dampak pelayanan kepada pasien false emergency. Menurutnya hal ini sangat berpengaruh terhadap kondisi RSUD Klungkung. Selaku direktur, pihaknya tetap mengajukan klaim ke pihak BPJS.
“Sehingga manajemen RSUD Klungkung mengajukan peninjauan terkait hal ini. Karena memang yang berdampak pihak RSUD Klungkung,” ujarnya.
Ia berharap semua stakeholder seperti pemerintah, tokoh masyarakat, media, terutama BPJS Kesehatan kian menggencarkan sosialisasi dan edukasi terhadap penerapan sistem rujukan berjenjang.
“Sehingga jangan ada yang saling menyalahkan. Padahal memberikan pelayanan kesehatan kan hubungan manusia dengan manusia. Kami tentu juga melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat, tidak mungkin tidak kita layani,” imbuh Winata.
Dirut BPJS Klungkung Gusti Ngurah Catur Wiguna menyatakan, pihak yang memiliki wewenang penuh untuk menentukan kasus itu emergency atau tidak yakni dokter. Tapi kata dia, kriteria emergency sudah diatur dalam Perpres No 82 Tahun 2018, misalnya mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan.
Adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi, adanya gangguan hemodinamik, adanya penurunan kesadaran yang memerlukan penanganan segera.
Soal klaim RSUD Klungkung, Wiguna menyatakan sampai dengan saat ini tidak ada hutang BPJS kepada RSUD Klungkung. Ia juga menyampaikan terkait kasus emergency tim verifikator masih mendalami untuk memastikan tidak ada kasus false emergency.
“Untuk kasus false emergency) karena tidak termasuk yang ditanggung BPJS Kesehatan (tidak dibayarkan). Kasus yang sifatnya bukan gawat darurat harusnya dilayani di FKTP, jika perlu penanganan lebih lanjut baru dirujuk ke Rumah Sakit,” tegas Wiguna. (yan)