DENPASAR – Banyaknya spanduk atau baliho yang bertebaran dan mengganggu estetika, dimana Bali sebagai tempat daya tarik pariwisata. Ini selaras dengan yang diucapkan Prabowo Subianto dengan lantang mengkritik polusi visual akibat baliho di Bali dan menekankan bahwa iklan politik yang merajalela merusak keindahan alam dan daya tarik wisata.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Tim Hukum dan Advokasi Koster-Giri Provinsi Bali, I Gusti Agung Dian Hendrawan, SH, MH. “Namun, pernyataan ini seolah hanya retorika kosong, sebab yang terjadi di lapangan justru bertolak belakang. Bali kini dipenuhi spanduk atau baliho bertuliskan coblos yang gundul dalam artian mengarah pada paslon 01 Mulia-Pas, mendominasi perempatan, trotoar, pohon hingga area wisata yang seharusnya menawarkan pemandangan alami khas Bali, ” kata pria yang akrab dipanggil Agung Dian.
Spanduk atau baliho politik ini jelas bukan cerminan komitmen untuk menjaga keindahan Bali, melainkan simbol ambisi tanpa batas dan pencitraan murahan. “Bali tidak butuh wajah politisi yang memenuhi ruang publik, tetapi membutuhkan program-program konkret yang meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melindungi lingkungan. Pertanyaan besarnya: mengapa banyak pihak terkesan diam saja melihat kejadian seperti ini?, ” kata Agung Dian yang juga advokat ini.
Disampaikannya bahwa sikap tidak tegas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) semakin memperburuk situasi. Seharusnya, KPU dan Bawaslu sesuai kewenangannya masing-masing berperan aktif mengatur, mengawasi dan menindak kampanye yang berlebihan, termasuk pemasangan spanduk atau baliho yang mencemari ruang publik.
“Namun, hingga kini, KPU dan Bawaslu terkesan menutup mata dan membiarkan spanduk atau baliho ‘gundul’ merajalela tanpa pembatasan, ketidaktegasan ini hanya memperkuat kesan bahwa KPU dan Bawaslu tidak menjalankan fungsinya dengan baik sebagai penyelenggara serta pengawas pemilu yang independen dan adil, ” terangnya.
“Apakah KPU dan Bawaslu sengaja membiarkan dugaan pelanggaran ini terjadi, atau mereka tidak mampu menegakkan aturan dengan konsisten? Bagaimanapun juga, ketidakmampuan KPU dan Bawaslu dalam menindak dugaan pelanggaran ini hanya akan mencoreng kredibilitas lembaga dan menciptakan kesan bahwa aturan bisa dilanggar selama ada kepentingan politik di baliknya, ” imbuhnya.
“Sikap ini berbahaya, karena publik bisa melihat KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang tidak independen dan mudah diintervensi, ” tegas pria yang juga pengacara dan politisi asal Desa Perean, Kecamatan Baturiti Tabanan ini. “Spanduk atau Baliho ‘gundul’ yang memenuhi ruang publik adalah manifestasi dari politik kosong yang hanya mengandalkan wajah, bukan substansi, ” jelas Agung Dian.
Dan menurutnya, jika KPU dan Bawaslu tidak segera mengambil tindakan tegas, polusi visual ini hanya akan semakin mencemari pemandangan Bali yang seharusnya dilindungi. Dalam situasi seperti ini, publik Bali harus lebih jeli melihat siapa yang benar-benar berkomitmen menjaga keindahan alam dan siapa yang hanya memanfaatkan retorika kosong untuk meraih suara.
“Jika KPU dan Bawaslu terus diam, kemudian membiarkan terjadinya hal-hal yang bernuansa merusak estetika Bali, maka ini adalah bukti nyata kegagalan sistem dalam menjaga integritas proses pemilu, ” terang pria yang juga kepala Biro Hukum , Perundangan-undangan dan Advokasi BSPN Daerah PDI Perjuangan Bali ini.
Dan disampaikannya bahwa pada akhirnya, KPU dan Bawaslu harus bangkit dari ketidaktegasannya dan menindak tegas pemasangan spanduk atau baliho yang berlebihan. Bali bukan tempat untuk wajah-wajah politisi yang memenuhi jalanan; Bali adalah tanah budaya dan keindahan alam yang harus dijaga.
“Tanpa tindakan tegas dari KPU dan Bawaslu, polusi visual dari spanduk atau baliho paslon 01 hanya akan memperburuk citra pemilu dan menunjukkan betapa lemahnya pengawasan yang seharusnya melindungi kepentingan publik, ” pungkasnya. (arn)