DENPASAR – Potensi ekonomi Bali terbesar adalah pariwisata, namun peluang sektor pertanian tak kalah menariknya, hanya saja sektor pertanian belum menjadi target para pekerja di Bali sebagai sumber penghasilan yang ideal. Hal ini disebabkan selain upah yang rendah, minat menjadi petani juga rendah, maka perlu upaya pemerintah memikirkan sektor pertanian lebih serius digarap.
Demikian terungkap dalam Dialog Publik dan Job Fair digelar oleh Tim Konsorsium Provinsi Bali yang diketuai Politeknik Negeri Bali, di Living World Bali Denpasar, Senin (18/11/2024).
Dialog yang berlangsung 18-19 November 2024 ini menghadirkan sejumlah pembicara baik dari kalangan pemerintah, akademisi, pelaku pariwisata diantaranya Prof. Dr. Ir. Tjok. Oka Artha Ardhana Sukawati (praktisi pariwisata), Prof. Dr. I Nyoman Sunarta (Unud), Ida Bagus Gede Wesnawa Punia ( Bappeda Bali), I Wayan Pandu (Wakil Ketua Umum Vokasi dan SDM Kadin Prov. Bali) dan I Ketut Yudiana (Disnaker Prov Bali).
PMO Program Ekosistem Kemitraan Ketua Tim Kerja Kemitraan Direktorat MITRAS Yogi Herdani, Msi,, mengungkapkan antara pendidikan dan ekonomi di Indonesia tidak pernah duduk bersama. Ketika ada perubahan yang terjadi, kita banyak terkejut, antara program pendidikan yang dihasilkan dengan peluang yang ditampung industri justru mengalami banyak perubahan.
“Saat ini ada tren pendidikan dimana siswa yang lulus tak ada lagi tertampung di industri karena tidak lagi ada daya rekrut besar besaran oleh industri. Hal ini menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan kita,” kata Yogi Herdani, dalam sambutan Dialog Publik yang mengangkat tema Memetakan Peluang dan Tantangan Vokasi Bali itu.
Lebih lanjut Yogi menyatakan, permasalahan serapan tenaga kerja di daerah justru beragam. “83 persen tenaga kerja justru ada di daerah, ruang bertarungnya justru di daerah, kami harus tahu perubahan di daerah seperti apa,” ucapnya.
Ia meneropong Bali berbeda, memang kualifikasi pendidikan menopang sektor pariwisata secara linear. Sementara ada sektor lain yang berpotensi besar seperti pertanian, manufacturing, arsitektur masih banyak perlu lulusan soft skill. “Kami harap pemerintah daerah mampu menyentuh itu, sehingga serapan tenaga kerja jadi lebih merata,” ungkapnya.
Pelaku pariwisata yang juga tokoh Puri Ubud, Prof. Oka Artha Ardhana menegaskan, masalahnya sekarang orang Bali harus bisa menanamkan tiga hal dalam berkompetisi. Kreativitas orang Bali kan luar biasa. “Pertama kita tanamkan spirit bekerja, kedua membaca peluang, yang ketiga membaca potensi dirinya sendiri dan lingkungan,“ ungkapnya.
Cok Ace menyinggung jangan terlalu sempit memandang pertanian, dimana soal pertanian di Bali memiliki lahan sedikit harus mampu maksimal dan cermat mengolah lahannya. “Bali tidak bisa dibandingkan di Karawang bisa memiliki 4 hektar atau lebih, sedangkan di Bali petani kita lahannya sempit, bagaimana caranya menghasilkan lahan sempit itu bisa bersaing dengan penghasilan di hotel, kita harus cermat dengan biaya yang dikeluarkan, kita dorong petani modern, dari pendidikan bisa mendorong inovasi kreatif. Adanya perubahan–perubahan pembangunan di Bali seperti Pusat Kebudayaan Bali, ini peluang rekruitmentnya mulai disiapkan, jangan sampai orang luar menguasai lagi,” ucapnya.
Mantan wakil gubernur ini menyebutkan pengembangan pariwisata Bali berkaitan dengan kekuatan/potensi di masing-masing kab/kota. Pariwisata menyerap 30 persen tenaga kerja. Pedagang 25 persen. Perdagangan tidak bisa lepas dari pariwisata. Pertanian dalam arti luas menyerap 20 persen. Tapi petani ini di wilayah pariwisata juga memiliki usaha di bidang pariwisata seperti handycraft dan sektor lain 45 persen.
“Pariwisata ini sangat luas sekali. PHRI ada 22 asosiasi di bawah kami. Ini perlu kita tekankan pada adik-adik vokasi kira-kita kemana akan arahkan sesuai minatnya dan akan dikembangkan,” tandasnya.
Sementara Prof. Dr. I Nyoman Sunarya, M.Si menyatakan permasalahan vokasi perlu dicermati lagi, terutama peluang di sektor pertanian. “Saat ini saya inginkan pertanian kita harus diangkat. Saya khawatir kawasan Denpasar Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita) dijadikan pusat pembangunan Bali, saya khawatir banyak sawah kita akan rusak. Karena 70 persen sawah kita ada di kawasan Sarbagita,” terangnya.
Pihaknya mengungkapkan kalau anak muda yang pinter tidak mau ke pertanian. Siapa yang salah?” Saya berpikir sawah di kota Denpasar agar dikemas dan digarap oleh kalangan milenial. “Buktinya ada petani muda menggarap Greenhouse tidak banyak lahan yang digunakan tidak ada kotor-kotor mereka berhasil . Bahkan petani muda ini menyatakan buah blueberry hasil kebunya Ini sampai kurang bahan untuk suplai ke salah satu industri perhotelan, artinya ada peluang menjanjikan pertanian itu,” ucapnya.
Ketua Tim Konsorsium Provinsi Bali Dr. Ni Nyoman Sri Astuti, SST.Par., M.Par. mengungkapkan kegiatan Dialog Publik dan Job Fair ini digelar untuk menjembatani antara dunia usaha atau stakeholder yang ada agar bisa diakses masyarakat secara umum. (surr)