KARANGASEM – Isu praktek politik uang atau money politics, kini semakin liar ditengah panasnya situasi politik di Kabupaten Karangasem. Prakteknya, ada yang melakukan mobilisasi KTP di seluruh desa, dalih uang bensin, dan berbagai motif lainnya.
Namun, bagi pasangan calon I Gede Dana-I Nengah Swadi, praktek-praktek seperti itu tak mungkin dilakukan. Karena sejak awal Dana-Swadi sangat konsisten menghormati proses demokrasi, sehingga gaya kampanyenya selalu mengedepankan sosialisasi program yang benar-benar pro rakyat.
Jika masyarakat Karangasem melihat bagaimana latar belakang calon Bupati Karangasem I Gede Dana, tentu isu politik uang itu kian sulit dipercaya dilakukan Dana-Swadi. Gede Dana merupakan politisi tulen yang lahir di desa. Konsisten dalam garis ideologi PDI Perjuangan, hingga dipercaya rakyat menjadi kepala daerah. Dia bukan lahir dari kalangan ningrat politik atau pengusaha, yang punya cukup uang untuk melakukan money politics. “Soal politik uang, tim kami sudah pasti tidak melakukan itu, apalagi saya minim anggaran,” terang Gede Dana, Kamis (14/11/2024).
Kuat dugaan isu ini sengaja dibelokkan oleh para pihak lawan politiknya, yang mungkin saja sedang gencar menggalang KTP masyarakat dengan janji realisasi uang. Itu pun cair setelah pencoblosan dan menang. Setidaknya hal itu mencuat di media sosial, setelah beredar luas tangkapan layar chat whatsApp, adanya mobilisasi KTP lengkap dengan nama dan nomor KTP nya. Bahkan, jika isu ini ditelanjangi, tentu akan ketahuan siapa paslon sesungguhnya yang sedang gencar mengumpulkan KTP dengan iming-iming Rp 200 ribu per KTP.
Sebab, jika akan beradu gagasan, program, pengalaman, rekam jejak dan segala aspek kepemimpinan daerah, Dana-Swadi sudah jauh unggul. Apalagi setelah masyarakat Karangasem menyimak tiga kali debat terbuka secara live, sudah sangat jelas Dana-Swadi paling siap untuk melanjutkan kepemimpinan di ujung timur pulau dewata ini. Maka, satu-satunya jalan menang dengan keunggulan Dana-Swadi seperti itu, mungkin dengan jalan money politics. “Semoga tidak ada pihak yang sengaja membelokkan fakta, yang sedang mereka kerjakan sendiri,” tegas Gede Dana.
Dalam konteks politik uang, kini sudah ada ketentuan baru. Jika ditemukan pelanggaran itu, dilengkapi bukti-bukti yang konkrit, maka sanksi tegas bisa langsung dijatuhkan kepada pemberi maupun penerima. Jika dulu saat pemilu penindakan politik uang baru bisa dilakukan kepada tim kampanye. Namun, sekarang saat pilkada kalau politik uang itu dilakukan orang per orang pun, Bawaslu bisa langsung melakukan penindakan.
Sanksi pemberi dan penerima politik uang pilkada diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Ketentuan sanksi politik uang dalam konteks ini, diatur pada Pasal 187A, dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 Miliar. Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat satu. (dha)