DENPASAR – Persoalan punahnya bahasa ibu menjadi isu setrategis yang mengemuka di ruang publik. Untuk itu, bahasa dan sastra Bali salah satu bahasa ibu yang beruntung di tengah keterancaman ribuan bahasa di dunia yang setiap hari mengalami kepunahan.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Skar, M.Hum saat hadir selaku pembicara dalam seminar serangkaian HUT Mahasaba XIII, Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana (Unud), Jumat (25/10/2024).
“Berdasarkan catatan UNESCO dari 7.600 bahasa daerah di dunia, setiap dua Minggu ada satu bahasa daerah yang Punah,” kata Prof. Arya Sugiartha. Dijelaskan, di Indonesia terdapat 718 bahasa daerah, sudah ada yang punah, sebagian besar mengalami keterancaman, ada 21 yang berstatus aman , salah satunya bahasa Bali. “ Kita patut berbangga bahasa Bali telah diperkuat adanya Perda 1 tahun 2018 dan Pergub 80 tahun 2018 merupakan kepedulian pemprov Bali untuk melindungi bahasa dan sastra Bali, “ jelasnya.
Lanjut mantan Rektor ISI itu, ia mengajak peran serta kalangan akademisi, cendikiawan, budayawan untuk senantiasa aktif memberikan masukan kepada pemerintah daerah agar bahasa dan Sastra Bali benar-benar membumi.
“Bahasa Bali kita pertaruhkan mati- matian. Orang Bali sangat beruntung karena memiliki media komunikasi yang lengkap yaitu bahasa, aksara dan sastra , disana berbagai bidang ilmu terekam diantaranya ilmu filsafat, ilmu astronomi, ilmu pengobatan , arsitektur, sejarah, cerita hingga upacara agama dan sebagainya, ” terang pejabat asal Pujungan Tabanan tersebut dihadapan dosen, mahasiswa FIB Unud.
Arya Sugiartha mengklaim upaya perlindungan dan membumikan bahasa Bali telah dilaksanakan Pemerintah Bali. Yakni sebagai media komunikasi pemerintah daerah telah membuat terobosan perlindungan bahasa dan sastra salah satunya melalui Bulan Bahasa Bali (BBB) yang digelar setiap bulan Februari dan tahun depan ( 2025) BBBB memasuki ajang ke- 7. “ BBB menyajikan secara lengkap aktivitas yang terdiri dari unsur kreasi, penciptaan, penyajian seni, sastra, hingga industri kreatif, yang pada intinya kegiatan segmentasinya membumikan bahasa Bali dengan menargetkan peran serta generasi muda, yaitu memerankan bahasa Bali, agar masyarakat dapat mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tandasnya.
Peraturan daerah yang mengatur bahasa dan sastra dilaksankan mulai tingkat sekolah, desa adat, kecamatan, kabupaten hingga propinsi. Buktinya lagi telah ada regulasi bahasa Bali di ranah publik, menyurat aksara Bali yakni selain tulisan Latin wajib memasang aksara Bali di papan nama lembaga baik pemerintah maupun swasta. Serta mewajibkan menuliskan aksara Bali diatas tulisan latin.
“Kedepan bahasa Bali perlu terus ada pembaharuan saat ini kita sudah ada penciptaan keyboard, ini luar biasa, hanya masih mahal harganya, kedepan terus kita mendorong terobosan -terobosan setrategis untuk memudahkan aplikasi aksara Bali di berbagai media, “ tegasnya.
Seminar yang dibuka oleh Dekan FIB I Nyoman Aryawibawa, S.S, M.A, P.hD, juga menghadirkan pembicara lainya Budayawan I Wayan Westa yang membawakan materi refleksi bahasa Bali. Wayan Westa memberi judul Sastra Bali dan Kebangkitan Daya Budi, yang merefleksikan cerita Epos Ramayana yang telah dikarang 1028 tahun yang lalu. Karya sastra maha agung tersebut menurut Westa luar biasa, dikarang oleh orang hebat hingga menjadi pedoman hidup dari zaman ke zaman. “ Karya sastra ini dijadikan pegangan etik dalam Astabrata terkait kepemimpinan dan sebagainya, karya ini memberi rembesan sastra Bali dari jaman Majapahit Kuno hingga sekarang,” ungkapnya.
Tokoh yang juga penulis itu menekankan tanpa aksara bahwa kita tidak memiliki pengetahuan hari ini. Kesenjangan hari ini yang terjadi, yaitu kesenjangan bahasa dan aksara, maka perlu peran untuk memetakan karya-karya sastra oleh pemimpin. “ Udayana harus mengambil sikap lebih banyak mencetak sastrawan Bali berapa pun jumlah mahasiswa kalau bisa bebaskan SPPnya,” sarannya.
Sementara itu, Dekan FIB Dekan Fakultas Ilmu Budaya I Nyoman Aryawibawa, P.hD mengungkapkan kontek kehadiran narasumber dalam seminar kali ini dalam usaha pelestarian dan penyelamatan bahasa dan sastra. “ Saya mendapat data penelitian di Singapura, ada 4 bahasa yang diteliti di negara tersebut yaitu, Tamil, Melayu, Inggris dan Mandarin, hasil risetnya ada tren posisi bahasa melayu mulai ditinggalkan, “ kata Aryawibawa.
Menurutnya, kita patut bersyukur bahasa Bali sangat beruntung, karena upaya perlindungan dan pelestarian bahasa dan sastra Bali ditetapkan dalam Pergub, ini luar biasa perhatian pemerintah dari aspek regulasi. “ Melalui seminar ini, peserta yang juga mahasiswa kita harapkan mendapatkan informasi dalam upaya regulasi pemerintah melalui Dinas Kebudayaan,” jelasnya.
Ketua Panitia Seminar Mahasaba VIII Ketua Panitia I Wayan Giri Asmara menambahkan kegiatan Hut yang mengambil tema “Basa Bali Gunamanta Jana Murti” Bahasa Bali menjadikan manusia Bali unggul dan berjatidiri. disemarakaan dengan berbagai kegiatan. “Rangkaian kegiatan selain seminar ada lomba nyurat lontar tingkat SMA/SMK diikuti 70 peserta, lomba mageguritan putra -putri se Provinsi Bali diikuti 20 pasang, lomba mapidarta 24 pasang Putra Putri,” imbuhnya. (sur)