Tradisi Caru Mejaga-Jaga di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung
KLUNGKUNG – Warga Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa,Kelurahan Semarapura Kaja, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung punya cara tersendiri dalam merawat alam semesta.
Warga setempat menyadari, sebagai makhluk ciptaanNya berkewajiban mengucapkan syukur dan memberikan persembahan kepada ekosistemnya. Persembahan rutin dilaksanakan warga setempat setiap tahun yakni Upacara Bhuta Yadnya dalam bentuk Caru Menjaga-Jaga.
Caru Mejaga-Jaga diadakan sesuai penanggalan Bali persisnya setiap Hari Tilem (bulan mati) Sasih Karo (bulan kedua ) sekitar akhir Agustus atau awal September. Karena kebetulan Hari Tilem yang jatuh pada Selasa (3/9/2024) bertepatan dengan Hari Pasah (unsur pertama triwara), dan diyakini Hari Pasah tidak baik untuk menggelar Upacara Bhuta Yadnya, maka Caru Mejaga-Jaga dimajukan pada Senin (2/9/2024).
Ritual ini ditujukan kepada unsur-unsur alam semesta (panca maha bhuta) yang menyebabkan terjadinya hidup dan kehidupan. Sarana utama yang digunakan dalam ritual ini adalah seekor sapi cula yakni sapi berwarna merah tanpa cacat dan sudah dikebiri. Syarat lainnya, ekor tidak boleh pancut, tidak boleh ada manggar (useran di punggung), tanduk harus baik.
Penggunaan sarana sapi cula ini berfungsi untuk memohon kesuburan. Selain itu Caru Mejaga-Jaga yang diadakan warga Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa bertujuan untuk memohon penyucian, harmonisasi (Nyomia),mengembalikan keseimbangan tidak saja wewidangan (lingkungan) desa adat juga alam semesta.
Hal ini tampak dari prosesinya yang dimulai pukul 07.00 Wita, dimana ritual dilakukan di empat arah mata angin (nyatur desa), utara, selatan, timur,barat dan posisi tengah. Lima lokasi itu juga sebagai lokasi Panca Maha Bhuta.
Menurut Jero Mangku Nyoman Sumana, beberapa sarana yang digunakan selain sapi cula ada tegen-tegenan berisi jenis bumbu, minyak goreng, blakas (parang) sudamala, berokan terbuat dari pelepah pohon enau berisi hiasan bunga beludru dan hiasan senjata nawa sanga. Sekar ura, beras panca warna.
“Blakas sudamala hanya digunakan saat ritual Caru Mejaga-Jaga. Selebihnya disimpan di Pura Penyimpenan,”tandas Jro Mangku Nyoman Sumana yang merupakan Jro Mangku Kubayan bertugas menyembelih sapi menggunakan blakas sudamala, Senin (2/9/2024).
Jalannya ritual Caru Mejaga-Jaga, diawali mempersembahkan banten di pura kahyangan desa. Kemudian sapi cula diarak ke keliling desa mulai dari arah utara, selatan, timur,barat dan di tengah-tengah desa. Di setiap perbatasan desa, dihaturkan banten dan sapi cula dicenteng (di tebas) di bagian pantat kanan.
Darah sapi yang muncrat lalu diusapkan oleh warga ke bagian wajah. Hal itu diyakini selain dapat menghilangkan berbagai macam jenis penyakit kulit juga untuk menjaga diri agar terhindar dari pengaruh kekuatan negatif.
“Warga kami meyakini darah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit khususnya penyakit kulit. Secara filosofi untuk menjaga diri dari pengaruh kekuatan negatif,” ujar Jro Mangku Nyoman Sumana.
Setelah prosesi selesai nyatur desa dan di tengah desa, lalu sapi cula disembelih di tengah desa. Kulit sapi (bayang-bayang) serta sebagian daging digunakan untuk bahan upacara caru.Sisanya dibagikan kepada warga setempat.
Caru Mejaga – Jaga merupakan sebuah praktek tradisi keagamaan yang digelar sejak kehadiran para migran asal Desa Tohjiwa dari Kerajaan Karangasem pada tahun 1750, pasca Perang Karangasem – Klungkung. (yan)