MANGAPURA – Komisi Informasi (KI) Pusat mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) tahun 2024 di Provinsi Bali, Selasa (6/8/2024).
FGD yang digelar mulai pukul 09.00 Wita di Hotel Wyndham Garden Kuta Beach Bali itu menggandeng tim Pokja dan informan ahli daerah. Terungkap nilai Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) di Provinsi Bali sedikit mengalami penurunan.
Tahun 2021 mencapai 83,15 (kategori baik), turun menjadi 82,15 pada tahun 2022, dan 81,86 pada tahun 2023.
Penurunan ini terjadi pada dimensi politik dari 82,41 ( tahun 2021) menjadi 82,16 (2023). Dimensi ekonomi 82,03 (2021) menjadi 81,84 (2023), dan dimensi hukum 85,13 (2021) menjadi 81,03 (2023).
Posisi Bali di tingkat nasional menunjukkan kecenderungan penurunan, dari urutan 1 pada tahun 2021, ke urutan 2 pada tahun 2022, dan urutan 3 pada tahun 2023.
Sedangkan hasil sementara menunjukkan Bali turun ke kategori sedang dengan skor IKIP 2024 sementara 75,66. Dari dimensi politik 75,09, dimensi ekonomi 73,69, dan dimensi hukum 77,84.
Komisioner Komisi Informasi Rospita Vici Paulyn, FGD dilaksanakan di lima provinsi, salah satunya Bali sebagai bagian dari program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk memotret sejauh mana keterbukaan informasi di setiap provinsi, kabupaten/kota hingga desa.
“Indeks keterbukaan informasi publik mencakup komitmen pemerintah provinsi dan kabupaten, dukungan terhadap keterbukaan informasi, dan yang terpenting, apakah ada perlindungan hukum bagi pelapor yang melaporkan tidak mendapatkan akses informasi yang mudah,” kata Rospita Vici Paulyn kepada wartawan di sela-sela acara.
Dari hasil indeks ini, kata Rospita, akan dihasilkan rekomendasi yang menjadi catatan untuk Provinsi Bali dalam hal impementasi keterbukaan informasi publik. Namun, di balik itu semua, ada tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan keterbukaan informasi publik.
Ia menyebut sejauh ini hanya ada lima komisioner di Bali dengan rentang kendali untuk mengawal keterbukaan informasi dari provinsi hingga desa sangat luas.
“Dari sisi anggaran, setiap tahun meningkat, tetapi dukungan sarana prasarana, misalnya kendaraan untuk operasional, hanya satu. Ini sangat penting karena komisioner melakukan edukasi ke badan publik maupun masyarakat dan memerlukan dukungan dari pemerintah,”ungkapnya.
Selain itu, sosialisasi ke masyarakat juga perlu diterapkan.
“Kalau badan publiknya terbuka tapi masyarakatnya tidak tahu kalau punya hak untuk tahu bahwa ada lembaga komisi informasi sebagai tempat mengadu kalau mengalami hambatan, maka keterbukaan itu tidak ada gunanya,”tegasnya.
Disinggung terkait sengketa keterbukaan informasi publik di Bali, Rospita menegaskan sangat sedikit.
“Tapi, tolak ukur sedikit itu belum tentu bagus karena bisa saja masyarakatnya tidak paham. Setidaknya masyarakat mengetahui jika ada hambatan memperoleh informasi ada lembaga tempat mengadu. Ini yang perlu disosialisasikan apakah memang masyarakat tidak mengadu karena sudah paham atau badan publiknya sudah terbuka atau karena memang belum tahu haknya,”tandasnya.
Sementara, anggota Tim Ahli IKIP 2024 Fransiskus Surdiasis menjelaskan, IKIP bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktual tentang keadaan keterbukaan informasi di berbagai provinsi di tahun 2024.
“Gambaran faktual itu didapatkan dari penilaian para informan ahli. Penilaian ini bersumber pada pemahaman tentang situasi keterbukaan informasi dengan merujuk pada data dan fakta terkait keterbukaan informasi,” jelasnya.
Dalam FGD ini, berbagai data, fakta, dan informasi terkait 77 indikator dipaparkan oleh tim Pokja. Para informan ahli dapat mengubah nilai jika data tersebut memberikan pandangan baru. Selain itu, akan didiskusikan sejumlah indikator yang memiliki disparitas skor yang sangat tinggi.
Masing-masing informan ahli memberikan rekomendasi perbaikan keadaan keterbukaan informasi di provinsi ini. Fransiskus menekankan pentingnya kualitas penilaian informan ahli dan dukungan data yang lengkap.
Sementara, Ketua Komisi Informasi Bali I Made Agus Wirajaya menyebut salah satu faktor penurunan nilai IKIP tahun lalu karena kondisi Covid-19.
“Kondisi masih Covid sehingga ekspektasi dari para penilai informasi publik tidak terlalu tinggi. Saat itu, tidak bisa melaksanakan sosialisasi, termasuk anggaran dan lain-lain sehingga ada permakluman,”ujarnya.
Di saat situasi mulai membaik, ekspektasi pun meningkat sehingga nilai IKIP terlihat menurun. Selain itu, tim penilai juga berbeda dari tahun sebelumnya sehingga ada kemungkinan penilainnya pun lebih mendalam.
“Sebetulnya nilai IKIP tidak dipandang harus naik terus atau turun. Penilaian belum final dan hasil sementara sebenarnya tidak turun banyak dan masih dalam kisaran sebanding. Turun secara angka, tapi secara kondisi tak beda jauh sehingga dari kategori baik menjadi sedang,”jelasnya.
Menurutnya, dampak dari penilaian Indeks Keterbukaan Informasi Publik sangat signifikan bagi masyarakat.
“Indeks ini tidak hanya memotret perspektif pemerintah sebagai penyedia informasi, tetapi juga masyarakat sebagai penerima informasi. Penilaian indeks ini bukan mengukur prestasi, tapi kondisi badan publik,”kata I Made Agus Wirajaya di sela-sela acara.
Ia menegaskan, informasi publik harus bermanfaat dan mudah diakses, cepat, serta murah.
“Contoh sederhana, tentang lapangan pekerjaan. Setiap tahun ada lulusan SMK yang mencari pekerjaan. Apakah tersedia informasi soal lapangan pekerjaan untuk mereka? Informasi yang praktis seperti ini bermanfaat,” ungkapnya.
Melalui pelaksanaan FGD ini diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi yang konkret bagi kekurangan badan publik dari penyedia informasi untuk memperbaiki pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Bali, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. (dum)