Sampah di Lepang meluber akibat pihak desa gagal membangun TPS 3R
KLUNGKUNG – Sampah akan tetap menjadi persoalan kedepannya. Diperlukan manajemen pengelolaan sampah yang efektif, kesadaran dan perubahan perilaku masyarakat guna mengatasi masalah sampah.
Sekelompok orang di Desa Adat Lepang menolak rencana pembangunan pembangunan tempat pengelolaan sampah (TPS 3R). Dua kali prajuru adat setempat menggelar paruman sekaligus sosialisasi, demikian pula pihak desa dinas (Desa Takmung) bahkan camat Banjarangkan turun melakukan sosialisasi, namun pro kontra terus menggelinding hingga sekarang.
Pihak Desa Takmung pun akhirnya gagal mewujudkan pembangunan TPS 3R di wilayah Desa Adat Lepang. Sedangkan untuk membangun di tempat lain terkendala lahan. Menurut Perbekel Desa Takmung Nyoman Mudita, hanya di wilayah Lepang tersedia lahan untuk mewujudkan pembangunan TPS 3R.Lahan itu merupakan lahan milik Pemda Bali serta lokasinya jauh dari pemukiman penduduk.
Desa Takmung sampai sekarang belum memiliki tempat pengelolaan sampah. Karena tidak ada pengelolaan sampah,sebagian warga Lepang masih membuang sampah di dekat Pura Prajapati yang merupakan sempadan sungai. Sebagian lagi membuang di tegalan.
Pantauan di dekat Pura Prajapati, Rabu (31/7/2024) sampah mulai menggunung, plastik meluber sampai ke jalan dan berserakan di pinggir jalan. Jalan yang sudah diaspal tersebut merupakan akses menuju kuburan setempat. Sampah di lokasi tersebut juga sering kali terjadi kebakaran.
Perbekel Desa Takmung Nyoman Mudita dikonfirmasi mengatakan warga ada yang membuang sampah di dekat Pura Prajapati, di sungai juga di tegalan. Ia menyatakan pembangunan TPS 3R tidak jadi dilaksanakan karena ada sekelompok warga yang tidak setuju.
Padahal menurut Mudita masyarakat secara umum membutuhkan TPS 3R. Tapi dalam rapat (paruman adat) ada beberapa yang tidak setuju. Mudita juga menengarai ada beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat tidak setuju dibangun TPS 3R.
“Sejak tahun 2017,Desa Takmung mengawali merencanakan tapi sampai sekarang tidak terealisasi. Karena (ada) tokoh masyarakat yang tidak mendukung,”ungkap Mudita.
Alasan pihak yang menolak pembangunan TPS 3R kata Mudita dikhawatirkan TPS 3R nantinya memunculkan bau. Padahal dirinya berkeinginan TPS 3R di wilayah Desa Adat Lepang bisa menjadi pilot project. Mudita pun mengaku setiap tahun tetap memasang anggaran mencapai Rp 400 juta untuk pembangunan TPS 3R.
“Kalau anggaran tiap tahun terus dianggarkan. Kami tidak mau seolah-olah tidak dianggarkan,”lontar Mudita seraya mengatakan masalah sampah tidak saja menjadi tugas desa dinas,desa adat pun diharapkan ikut berpartisipasi dalam penanganan sampah.
Penyarikan atau Sekretaris Desa Adat Lepang Gede Predangga juga membenarkan sampai saat ini warganya masih pro dan kontra terkait rencana pembangunan TPS 3R tersebut. Menurut Predangga,warga lebih berhati-hati menyikapi persoalan tersebut karena ada yang masih trauma dengan pembangunan instalasi pembuangan limbah tinja (IPLT) di Lepang.
Apalagi rencana pembangunan TPS 3R lokasinya dekat dengan fasilitas wisata yakni ada hotel di pinggir Pantai Lepang.
“Masih ada pro dan kontra,sehingga sampai sekarang belum ada keputusan. Secara pribadi saya menyatakan kehadiran TPS 3R memang perlu untuk kedepannya. Hanya yang jadi masalah adalah kesepakatan soal tempat. Tempat akan dibangun belum deal, belum disetujui alias masih ada pro dan kontra,” terang Predangga.
Predangga mengatakan perlu kembali membangun komunikasi dan pendekatan kepada masyarakat agar rencana pembangunan TPS 3R itu bisa diwujudkan.Sebab, bagi Predangga masalah sampah perlu dukungan partisipasi semua pihak.
“Mungkin harus lebih pelan-pelan melakukan pendekatan kepada masyarakat. Kalau dari prajuru adat mendukung adanya proyek TPS 3R. Tapi kalau di desa adat keputusan tertinggi kan ada di paruman,” demikian Predangga. (yan)