DENPASAR – Rare Bali Festival (RBF) digelar selama dua hari Selasa dan Rabu, 23-24 Juli bertempat di Taman Budaya, Art Centre Bali, mengundang decak kagum para pengunjung. Pasalnya, festival ini menjadi ajang keceriaan penuh makna bagi dunia anak-anak dengan menghadirkan berbagai ragam permainan tradisional, gending-gending rare, lomba , workshop photografer serta disemarakkan dengan kegiatan mendongeng.
Lomba-lomba yang digelar dan mendapat sambutan luar biasa dari para peserta diantaranya Lomba Meplalian karya Made Taro diikuti anak-anak Paud se Kota Denpasar , lomba aransemen musik/gending rare, dan lomba gambar ilustrasi permainan dan pameran photo dari Perkumpulan Fotografi Bali. Untuk lomba ilustrasi pesertanya diikuti tidak saja dari Bali bahkan luar Bali.
Di puncak acara RBF 2024 dipungkasi pemberian penghargaan hasil lomba serta partisipasi berbagai pihak. Tak kalah serunya, seolah mengungkap rasa kangen akan gending-gending rare, Kelompok Musik Emoni tampil menghibur di Gedung Ksirarnawa , Taman Budaya Bali.
Konsep RBF patut diakui sebagai even yang mendidik dan penuh dengan ruang kreativitas dunia anak. “Ini konsepnya bagus, memberi edukasi kepada siswa seperti anak-anak tingkat SMP belajar photografi yang diberikan para dosen jurusan fotografi ISI Denpasar,” kata Rudi Rock salah satu pegiat photografi profesional di sela kegiatan RBF.
Baginya sangat jarang ada Festival yang memiliki konsep mendidik, RBF salah satu diantara Festival yang kami rasakan mampu menjembatani kemana arah anak-anak kedepan. “Dengan permainan budaya anak, kreativitas mendongeng dan lainya ini modal bagi anak-anak untuk menguatkan karakternya,“ ucapnya.
Menariknya, selain anak-anak normal, kali ini keterlibatan 6 orang anak penyandang disabilitas dari YPK Bali tampak senang bermain permainan tradisional Bali.Mereka memainkan permainan bernama pongpongan.
Seperti namanya, permainan ini menggunakan sarana pongpongan atau kelapa yang dilubangi tupai. Mereka menampilkan permainan ini penuh keceriaan dan kegembiraan terlihat di wajah mereka meskipun hanya duduk di atas kursi roda. Salah seorang pemain, Lanang dari Denpasar mengaku sangat senang bermain permainan ini. “Permainannya sangat menyenangkan. Bikin kita gembira,” katanya.
Putra Made Taro, I Gede Tarmada mengatakan permainan ini diciptakan memang untuk festival ini. Dirinya menilai selama ini tak ada permainan tradisional Bali untuk disabilitas. Setelah Made Taro berdiskusi dengan dirinya maka muncullah ide menggunakan pongpongan. “Ada filosofi dari pongpongan ini yakni berbagi sesuatu kebaikan kepada semua makhluk, karena tupai melubanginya untuk itu,” katanya.
Permainan ini memang dirancang agar tidak banyak gerakan. Hanya memindahkan pongpongan dan melempar. “Idealnya permainan ini dimainkan 5 sampai 8 anak dengan melingkar,” katanya.
Acara yang digelar oleh Yayasan Penggak Men Mersi bekerjasama dengan beberapa komunitas termasuk Sanggar Kukuruyuk milik Made Taro sekaligus merayakan 50 tahun pengabdian maestro Made Taro.
Ketua Yayasan Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita, menekankan pentingnya permainan tradisional dan dongeng sebagai bagian dari warisan budaya. Menurutnya, meskipun sering dianggap kuno, permainan tradisional memiliki manfaat besar untuk pendidikan karakter anak, termasuk sikap sportif, disiplin, dan sopan santun. “Permainan tradisional memainkan peran penting dalam mengembangkan kecerdasan otak, emosional, spiritual, dan fisik,” jelas Wahyudita.
Ia menambahkan, kepesertaan di ajang RBF ini murni partisipatif dari berbagai lembaga, sanggar, komunitas hingga dukungan berbagai pihak. Festival ini juga dibiayai oleh Dana Indonesiana dari LPDP Kemendikbud RI, dengan dua sub-kegiatan utama: dokumentasi karya Made Taro dan festival itu sendiri.
Dokumentasi mencakup pembuatan tiga video tutorial permainan tradisional, termasuk keranjang duren, kulkuk, dan pompongan.Tema festival tahun ini adalah “Merawat Tradisi, Cipta Inovasi, Untuk Generasi”, yang mencerminkan dedikasi Made Taro selama lebih dari 50 tahun. (sur)