Penampilan Baleganjur duta Kabupaten Jembrana yang membuat gelak tawa penonton, Jumat (21/6/2024).
GELAK tawa para penonton riuh di panggung terbuka Ardha Candra Art Center Denpasar, Jumat (21/6/2024). Ini karena penampilan dari duta Kabupaten Jembrana dalam Wimbakara (lomba) Baleganjur.
Duta Kabupaten ujung barat Provinsi Bali itu berhasil memuaskan hati para pecinta dan penikmat seni. Mereka membawakan garapan yang diberi judul ‘Raja Buduh’ dalam bahasa Indonesia artinya ‘Raja Gila’. Penampilan yang berbeda dari duta lainnya membuat kesan yang mendalam pada penontonnya.
Bahkan penonton dari berbagai kabupaten mengakui duta Baleganjur Kabupaten Jembrana dalam Pesta Kesenian Bali XLVI di luar ekspektasi. Pujian atas penampilan Bumi Makepung pun banyak diapresiasi penonton yang menyesaki Ardha Candra, bahkan hingga tiga hari berlalu penampilan Raja Buduh masih ramai di media sosial.
WARTA BALI mencoba menggali di tengah desakan penonton, siapakah komposer di balik garapan tersebut. Ternyata mereka adalah putra Jembrana, yakni Gede Yogi Sukawiadnyana dan I Kadek Widiawan. Berangkat dari pemikiran bahwa buduh adalah sebuah ketidakwajaran bertentangan dengan normal. Sementara normal sendiri merupakan kesepakatan yang disepakati bersama.
Atas pemikiran tersebut, mereka memilih tidak sepakat terkait apa yang disepakati tentang normal itu. Hal ini membuatnya menjadi lebih inovatif penuh ekspresi dan berani beda dalam menampilkan sebuah garapan. “Malam ini izinkan kami untuk tidak sepakat. Lewat baleganjur ini kami mengajak untuk meneladani manusia yang tidak diunggulkan. Mengambil nilai baik dari segala keburukan sehingga berguna bagi manusia lain yang belum tentu memandang kita sebagai sesuatu yang normal,” ujar komposer muda itu.
“Kami tidak ingin menjelaskan apa-apa terkait apa yang kami tampilkan. Kami tidak ingin penonton terjebak dalam kesepakatan kami. Nikmatilah imajinasi yang beragam. Raja Buduh adalah ia yang bergerak di luar batas normal,” jelasnya dalam.
Garapan ‘Raja Buduh’, saat baru memasuki panggung telah mengocok perut penonton. Mereka memperlihatkan kekocakan seorang raja bertingkah gila. Dalam memainkan gerak beberapa part tidak diikat oleh pakem-pakem tertentu. Bahkan para pemain gebelan seperti terlihat menikmati sorak sorai, celetukan dan gelak tawa penonton, entah gerakannya itu salah atau memang dibuat demikian. Bahkan beberapa part ekspresi para penabuh yang nyeleneh hingga membuat penonton tak henti-hentinya tertawa.
Sementara dalam pukulan gambelannya tidak berbeda dengan duta kabupaten lain yang penuh semangat dan gairah muda. Bahkan hampir tidak ada kesalahan yang diperdengarkan dalam alunan nada melodi baleganjur itu. Sangat rapi.
Menarik garis tema Pesta Kesenian Bali XLVI, yakni Jana Kerti: Paramaguma Wikrama yang artinya Harkat Martabat Manusia Unggul. Mengaktualisasikan nilai-nilai luhur kearifan lokal Bali tentang upaya mewujudkan sumber daya manusia berkualitas unggul, kawista, beradab, dan bermartabat dengan meneladani sikap mulia guru-guru suci, Ida Dalem, Raja-Raja Bali, Leluhur, Lelangit dan Pahlawan Bali. Garapan ‘Raja Buduh’ ini menjadikan penampilan baleganjur yang kaku menjadi lebih rileks hingga bisa dinikmati oleh seluruh kalangan.
Dari beberapa kali diselenggarakan lomba baleganjur cenderung kaku dan monoton. Yang menjadi pemenangnya hanya itu-itu saja silih berganti. Sementara mereka yang tidak pernah mendapatkan bagian hanya menjadi figuran di mata penonton.
Mendobrak pakem demikian, penampilan garapan Raja Buduh berhasil menarik ribuan pasang mata malam itu. Dibalik kebuduhannya mereka menampilkan garapan yang ciamik dan perlu diperhitungkan. Mereka pun sangat gembira dengan sambutan penonton yang antusias. “Kami tidak butuh juara, yang penting kami juara di hati para penonton,” ujar salah seorang crew di balik panggung. (jay,dha)