Ancang-ancang revisi atau tepatnya mengutak atik kembali UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mulai bergulir sejak 27 Maret 2024, hingga kini menuai reaksi keras beberapa kalangan. Komunitas masyarakat Pers, yang terdiri dari berbagai organisasi profesi dan perusahaan Pers serta komunitas netizen mulai bergolak. Di beberapa kota, para wartawan yang nyaris kompak menolak revisi, bergerak. Mereka berunjuk rasa menyampaikan aspirasi tegas, menolak revisi UU Penyiaran.
Penolakan, memang biasanya terjadi karena ada rasa tidak suka, ada rasa tidak nyaman bahkan sampai pada rasa terancam. Dalam konteks ini, rasa terancam itu tak lain adalah tentang Kebebasan Pers sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 40 tahun 1999 yang berkarakteristik dua dimensi. Yaitu dimensi kebebasan menyampaikan atau menyebarluaskan informasi kepada masyarakat yang dimiliki oleh para wartawan dan kebebasan memperoleh informasi yang dimiliki masyarakat luas.
Pertanyaan kunci yang bisa membuka panorama revisi UU Penyiaran hampir semuanya dilontarkan dengan narasi yang sama. Seberapa besar manfaat Kebijakan merevisi UU Penyiaran yang dirasakan masyarakat? Atau jangan-jangan malah lebih banyak mudaratnya.
Jika ‘peluru’ analisa ditembakkan pada beberapa pasal perubahan yang kemudian terbaca sebagai inisiatif pemerintah, berkat kongkalikong atau ‘perselingkuhan’ antara lembaga eksekutif dan Legislatif, maka menjadi terang benderanglah terlihat ada permufakatan jahat. Yakni bahwa pasal-pasal perubahan tersebut, hanya nyaman bagi para penyelenggara pemerintahan, tetapi haram bagi wartawan dan masyarakat. Terutama dalam perspektif UU No. 40 tahun 1999 yang sangat menjunjung tinggi kemerdekaan Pers.
Demikian pula jika meraba-raba konstruksi berpikir para pencetus revisi UU Penyiaran ini, pena tajam para wartawan akan menuding bahwa pemerintah telah melakukan kalkulasi-kalkulasi tentang potensi gangguan yang muncul dari Kemerdekaan Pers.
Pikiran-pikiran kritis publik dianggap dapat merepotkan langkah para pejabat dalam menjalankan tugas. Meski sejatinya kritik sosial adalah vitamin bagus untuk meningkatkan energi dalam menjalankan tugas. Namun tetap saja sebahagian pejabat negeri ini memandang kritik sosial yang dilakukan pers sebagai batu sandungan, maka harus dilawan atau malah dimusnahkan.
Namun untuk melakukan perlawanan secara telanjang tanpa merujuk pada aturan yang ada, sangatlah mustahil, karena ada amanat kepatuhan terhadap norma-norma hukum yang hidup di negeri ini. Lantas muncul pikiran untuk membalut jemari-jemari tangan dengan regulasi formal sebelum membunuh makhluk bernama Kemerdekaan Pers.
Mari periksa pasal-pasal berapa saja yang bakal dijadikan “perisai” atau pembalut tangan sebelum membunuh, sebagaimana tertera dalam draf revisi UU Penyiaran yang jadi heboh ini.
Pertama pasal 1 ayat 9
Dalam ketentuan pasal ini secara visual tergambar adanya niat pemerintah untuk memaksimalkan fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai buldoser baru. Buldoser ini dihadirkan untuk mengawasi sekaligus memelintir kreativitas intelektual dari konten – konten digital seperti live streaming dan podcast atau hal lain yang menggunakan sarana algoritma-algoritma digital. Padahal semula KPI hanya mengawasi TV dan Radio atau media elektronik konvensional saja.
Dasar pikir perubahan pasal 1 ayat 9 ini sebenarnya merupakan hasil refleksi atas peristiwa-peristiwa sosial yang dimunculkan oleh berbagai konten digital, terutama dalam even-even politik. Apalagi jika konten-konten digital ini menyuguhkan informasi dan fakta-fakta tentang hal atau perbuatan-perbuatan menyimpang dari para pejabat bejat dalam menjalankan pemerintahan.
Rupanya, para pejabat pemerintah ini mengidap trauma berat atas tayangan-tayangan live streming dan podcast yang kritikal, lugas dan investigatif yang benar-benar menelanjangi perjalanan karier seorang pejabat pemerintah.
Maka diperluaslah kewenangan KPI sebagai lembaga pemerintah non departemen untuk menyingkirkan gangguan-gangguan berupa pikiran kritis evaluatif terhadap para penyelenggara pemerintahan.
Selebihnya, penerapan pasal 1 ayat 9 dalam draf revisi UU Penyiaran juga akan beririsan dengan UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang secara harfiah mengatur alur-alur pemanfaatan algoritma digital.
Kedua pasal 8a
Pasal ini lagi-lagi memperluas kewenangan KPI untuk menyelesaikan sengketa pers (sengketa penyiaran). Padahal selama ini sudah ada Dewan Pers, yang salah satu fungsinya adalah menyelesaikan sengketa pers sebagaimana diatur dalam uu nomor 40 tahun 1999.
Meski tetap penting untuk diakui bahwa Dewan Pers pun dalam menjalankan fungsi penyelesaian sengketa pers selama ini, tidak memberikan solusi yang maksimal dan memuaskan para pihak yang bersengketa. Itu sebabnya sifat lex specialis UU No 40 tahun 1999 menjadi perjalanan hukum yang penuh relativitas.
Sebab jika seseorang tidak puas dengan penyelesaian sengketa pers ala UU no.40 tahun 1999, dapat menempuh penyelesaian lewat undang-undang lain dengan titik berat pada ketentuan pidana umum. Dengan memberlakukan pasal irisan ini, pemerintah melegalkan tindakan-tindakan tidak sportif dalam berinteraksi dengan Pers.
Asumsi – asumsi yang menggelembung di balik pasal 8a ini tak lain bahwa pemerintah meminjam tangan KPI untuk melakukan tindakan kontrol yang leluasa dan bahkan berlebihan (over control) terhadap pemberitaan Pers.
Ketiga pasal 50b ayat 2. Pasal ini mengatur adanya larangan kepada pers untuk melakukan dan menyiarkan hasil investigasi. Model pemberitaan investigasi akan dikerangkeng dan ditakut-takuti dengan syarat Standar Isian Siaran (SIS).
Jika ditilik dalam perspektif UU Pers nomor 40 tahun 1999, rencana penerapan pasal 50b ayat 2 ini, ibarat sekali mengayun kapak, dua pohon tumbang bersamaan. Sebab liputan investigasi, tak lain adalah “mahkota” paling berharga yang dimiliki wartawan untuk mengungkap sebuah peristiwa atau memperdalam informasi serta fakta-fakta tentang suatu peristiwa. Sehingga kebenaran suatu peristiwa dapat terungkap semuanya di ruang publik. Pada titik inilah sebuah karya jurnalistik akan bermetamorfosis menjadi sarana edukasi publik. Ini jelas diatur dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang fungsi Pers yang paling hakiki.
Di lain pihak, publik yang menerima informasi pun, akan terpenuhi hak-haknya dalam mendapatkan informasi atau data-data yang sebenar-benarnya tentang suatu peristiwa. Kerja-kerja investigasi yang dilakukan wartawan memanglah mengandung resiko-resiko yang tidak mudah, termasuk resiko fisik. Sudah banyak wartawan yang akhirnya jadi korban karena melakukan liputan investigasi. Namun itulah mengapa investigasi disebut sebagai kerja mahkota bagi wartawan. Dengan melakukan liputan investigasi, seorang wartawan ingin mempersembahkan karya terbaik kepada masyarakat yang memerlukan informasi tuntas tentang sebuah peristiwa yang dilengkapi fakta-fakta orisinil. Rupanya cara kerja seperti ini juga turut dianggap sebagai gangguan bagi para pejabat dan penyelenggara pemerintahan.
Berangkat dari cara pemahaman seperti ini, maka benang merah yang dapat dirujuk adalah bahwa dalam negara demokrasi, haram hukumnya melakukan pengekangan-pengekangan baik secara langsung maupun berbalut regulasi. Itu sebabnya revisi UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, tidak relevan dengan tuntutan berdemokrasi secara sehat. (*)