BULELENG – Upaya pengendalian laju inflasi terus dilakukan oleh Pemkab Buleleng melalui sinergitas Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buleleng.
Selain menjaga pasokan dan distribusi bahan pokok (bapok), untuk menekan laju inflasi Singaraja yang sempat berada pada 5 kabupaten/kota dengan inflasi tertinggi di Indonesia mencapai angka 4,31 % diakhir tahun 2023, juga dilakukan evaluasi terhadap dasar penentuan komoditas penyumbang inflasi.
“Mulai Januari 2024 ini, komoditas amatan inflasi Singaraja akan bertambah dari sebelumnya 296 menjadi 327 komoditas, sedangkan Denpasar dari 401 menjadi 403 komoditas,” ungkap Kepala BPS Buleleng Made Bimbo Abdi Suardika usai rapat kordinasi (rakor) daring pengendalian inflasi nasional di Ruang Rapat Kantor Bupati Buleleng, Senin (8/1/2023).
Bimbo menegaskan, dasar penentuan jumlah komoditas penyumbang inflasi sebelumnya adalah hasil survey biaya hidup (SBH) tahun 2018.
“Penentuan komoditas diperkirakan empat hingga enam tahun sekali, akan tetapi rata-rata yang digunakan adalah lima tahun sekali. Sepanjang pola konsumsi masyarakat sudah dianggap ada pergeseran. Sebagai dasar penentuan komoditas tahun 2024, SBH sudah dilakukan pada tahun 2022 lalu,” tandas Bimbo diapresiasi Ketut Lihadnyana.
Selaku Pj. Bupati Buleleng, Lihadnyana mengapresiasi perubahan jumlah komoditas amatan inflasi sebagai instrumen yang dapat meminimalisir perbedaan angka inflasi Kota Denpasar dengan Kota Singaraja.
“Perbedaan angka inflasi antara Kota Singaraja dan Kota Denpasar antara lain disebabkan perbedaan jumlah komoditas amatan penyumbang inflasi dari kedua daerah,” jelasnya.
Kepala BKPSDM Provinsi Bali ini menandaskan, secara umum bobot dari beberapa komoditas pangan strategis penyumbang inflasi di Kota Singaraja lebih tinggi dari Kota Denpasar.
“Bobot yang tinggi di Kota Singaraja dipengaruhi jumlah komoditas amatan yang lebih sedikit. Di Kota Singaraja ada 296 komoditas amatan untuk penentuan angka inflasi, sementara di Denpasar ada 401 komoditas amatan sehingga bilangan pembagi untuk perhitungan inflasi lebih sedikit daripada Kota Denpasar,” tandasnya.
Ia memaparkan 3 komoditas penyumbang inflasi terbesar di Singaraja adalah beras, cabai rawit dan cabai merah.
“Ketika tiga komoditas ini mengalami kenaikan harga, maka akan berpengaruh besar pada angka inflasi di Singaraja. Sedangkan di Kota Denpasar, pengaruh tiga komoditas ini lebih rendah karena komoditas yang diamati jauh lebih banyak,” terangnya.
Sesuai data yang dikeluarkan BPS Kabupaten Buleleng, kata Lihadnyana, sumbangan inflasi dari komoditas beras, cabai rawit dan cabai merah dari tahun ke tahun di Kota Singaraja sudah lebih dari 2 persen, sedangkan di Kota Denpasar sumbangan inflasi dari komoditas yang sama kurang dari 1 persen.
“Artinya, sedikit saja ada kenaikan harga pada tiga komoditas tersebut, maka angka inflasi di Kota Singaraja terakumulasi jauh lebih tinggi. Meskipun secara fakta lapangan, harga cabai rawit dan cabai merah di Kota Singaraja lebih murah dibandingkan Kota Denpasar,” tandasnya.
Meskipun sudah ada perubahan jumlah komoditas amatan, upaya pengendalian inflasi dari hulu hingga memotong rantai pasokan komoditas tetap dilakukan.
“Kalau harga lebih murah kan daya beli masyarakat bisa terjaga. Oleh karena itu, kedepan komoditas yang berpengaruh terhadap inflasi memang harus jadi perhatian yang serius,” pungkasnya. (kar/jon)
