BULELENG – Banyaknya saran masukan serta ketidaksiapan warga masyarakat dalam mengadaptasi upaya pencegahan penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan metode Wolbachia mendapatkan perhatian khusus Pemkab Buleleng.
Berdasarkan arahan Pj. Bupati Buleleng dan hasil kajian dengan World Mosquito Program (WMP), Pemkab Buleleng melalui Dinas Kesehatan menunda rencana penyebaran telur nyamuk dengan kandungan bakteri Wolbachia.
“Sesuai arahan Bapak Pj. Bupati Buleleng dan hasil koordinasi dengan WMP, rencana penyebaran telur nyamuk yang mengandung bakteri wolbachia pada 55 titik di Kabupaten Buleleng kita tunda,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Buleleng Sucipta Wijaya usai mengikuti rapat koordinasi, Kamis (16/11/2023).
Kadiskes Sucipta menegaskan, hingga saat ini di Kabupaten Buleleng belum ada penyebaran telur nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia yang dikembangkan World Mosquito Program.
“Sampai saat ini, tim dari WMP masih intens melakukan sosialisasi ke 55 desa dari 148 desa/kelurahan di Kabupaten Buleleng yang dijadikan daerah percontohan, penerapan metode wolbachia untuk mencegah, menurunkan penyebaran penyakit DBD sebagaimana telah dilakukan pada beberapa kabupaten/kota di sejumlah provinsi di Indonesia,” terangnya.
Dari implementasi metode Wolbachia sejak tahun 2011 di Yogyakarta, hasilnya menunjukkan adanya penurunan kejadian (penyebaran penyakit DBD,red) sebesar 77 % dan penurunan rawat inap akibat dengue sebesar 86 % sehingga Kementerian Kesehatan menyatakan terdapat cukup bukti untuk memperluas metode ini di Bali pada dua kabupaten yakni Badung dan Buleleng serta 5 kota lainnya di Indonesia.
Terkait adanya isu penolakan warga masyarakat, Kadiskes Sucipta tidak menampik dan mengapresiasi sebagai aspirasi yang patut diakomodir serta diberikan penjelasan.
“Karena sejatinya, program ini harus dilaksanakan dengan persepsi dan pemahaman yang sama oleh dan untuk semua stakeholder termasuk warga masyarakat penerima manfaat sekaligus pengasuh bibit nyamuk ber-Wolbachia yang dibuat tanpa atau bukan rekayasa genetik (GMO) karena tidak melibatkan modifikasi genetik pada nyamuk Aedes Aegypti yang mengandung virus dengue atau bakteri Wolbachia yang banyak ditemukan pada serangga seperti lalat buah, kupu-kupu dan ngengat,” terangnya.
Dengan memasukkan bakteri Wolbachia yang dapat menghalangi perkembangan virus Dengue,Chikungunya, Zika dan Demam Kuning pada nyamuk Aedes Aegypti maka kemampuan menularkan virus tersebut kepada manusia akan berkurang.
Ia menambahkan, pemahaman tentang cara kerja metode Wolbachia sangat penting sebelum diimplementasikan ditengah masyarakat, karena membutuhkan waktu 6-12 bulan untuk nyamuk ber-Wolbachia bisa kawin dan berkembang biak setelah dilepaskan.
“Kemudian, nyamuk ber-Wolbachia akan menggantikan populasi nyamuk Aedes Aegypti tanpa resiko tertular virus dengue. Semakin banyak nyamuk ber-Wolbachia disekitar kita, maka kita akan semakin terlindungi dari ancaman Demam Berdarah Dengue, DBD,” tegasnya.
Sucipta menyatakan, adanya penolakan metode ini patut dihargai dan diapresiasi, karena memang dalam penanganan wabah penyakit sangat dibutuhkan pemahaman dan kesadaran bersama demi keselamatan semua.
“Karena, metode Wolbachia merupakan metode pelengkap dari seluruh upaya pencegahan terhadap penyebaran penyakit DBD yang telah ada, sehingga tidak menghilangkan upaya lain yang telah dilakukan,” pungkasnya. (kar,dha)
